Feeds RSS
Feeds RSS

Senin, 27 Februari 2017

Japantrip! (persiapan berangkat)

Halo, there!
Blogku vakum bertahun-tahun. Maapken. Berhubung baru pulang dari jalan-jalan, aku mau share nih keseruan japan trip aku bersama teman-teman.

Awalnya, sekitar satu tahun yang lalu. Tak lama dari traveling bertiga sama grup "holiholiday", aku dan Ica nemu promo tiket ke Jepang. Kita lagi gencar banget pengin liburan bertiga lagi. Setelah milih-milih, akhirnya kita memutuskan untuk beli tiket ke Jepang. Aku lupa kenapa akhirnya milih Jepang. Yang jelas kandidatnya kemarin, Thailand, Korsel dan Jepang. Gary, udah pernah menetap di Thailand sekitar 6 bulan. Ini alasan, kami mengeliminasi Thailand dari list. Entah gimana ceritanya juga, kami jadi menyebarluaskan si promo tiket murah ini. Dan bertambahlah dua orang kandidat yang "sempet-sempetnya" beli tiket di waktu promo yang singkat itu. Personil liburan kami bertambah dua orang, Ryu dan Tata. Gary juga bilang kalau ia bakal ngajak si adek. Jadi fix, kami pergi ramean.

Pertama kali pilih Jepang, aku sama sekali tak tahu menahu apapun. Jangankan mau merancang itinerary, tempat wisata dan kota-kota di Jepang pun aku tak tahu. Kebetulan, aku juga bukan "japan addict", atau "otaku" atau "cosplayer" atau apapun itu pencinta negeri sakura ini. Aku punya waktu panjang untuk merancang itinerary bersama teman-teman.

Singkatnya, sepulang dari Sulawesi, aku dan teman-teman mulai merampungkan itinerary dan segala persiapan. Oya, Gary gak jadi berangkat karena satu dan lain hal. Yang fix, aku, ica, tata dan ryu. Februari di Jepang adalah masa peralihan dari Winter ke spring. Walaupun, "katanya" salju sudah mencair, tapi suhu masih dingin. Kami jadi harus menyiapkan perkakas winter. Apalagi aku yang gak pernah ke luar negeri, gak pernah liat salju, biasa main pantai dan berjemur, yakin banget aku gak bakal tahan.

Ini beberapa hal yang kami siapkan untuk menerjang winter di Jepang:
1. Longjohn, 1-2 pasang. Barang wajib kalo pergi saat musim dingin. Untuk 5 hari, kami bawa 1-2 longjohn.
2. Legging thermal. 1-2. Ini juga sangat diperlukan. Suhu saat musim dingiin bulan februari di Jepang berkisar antara -4 sampai 9 derajat celcius. Kalau budget pas-pasan bolehlah punya satu aja, tapi kudu yang premium. Kalau punya budget lebih bisa bawa lebih. Bisa dilapis longjohn, atau kayak kami, dilapis jeans dan celana katun.
3. Coat. Yaiyalah yah. Siapa yang bakal tahan musim dingin tanpa coat? (Saya! karena suatu kebegoan coat basah dan gak bisa dipake). Kalo beli, bisa cari coat yang dalemnya isi bulu angsa, atau dakron. Jangan sampe salah beli coat. Coat winter dan autumn tuh beda!
4. Sweater. Untuk aku yang gak tahan dingin, aku bawa hampir semua atasannya berupa sweater. Mulai dari yang wool, sampe sweater heattechnya Uniqlo. Sisanya kemeja flanel, yang lumayan tebel juga.
5. Kaos kaki dan sepatu. Tadinya kami sengaja beli kaos kaki yang tebel banget. Kaos kaki khusus winter yang dijual di toko-toko winter. Tapi, seriuously, itu gak terlalu ngaruh. Cari kaos kaki tebel biasa aja, asal nyaman dipake, udah cukup. Kalau sepatu, kami beli sepatu khusus yang tahan segala kondisi, termasuk salju. Sepatu kami tahan air, dan ini sangat membantu. Dibanding sepatu gaul, yang gede dan berbulu dalemnya itu, aku lebih rekomendasiin sepatu model boots kayak pegawai tambang ini sih. Tapi tergantung keprluan juga, kami mah banyak jalan, dan medannya juga lumayan. Kalo jalannya cuma sekitaran Tokyo sih, sepatu model ankle boots juga udah cukup.
6. Gloves dan syal. Katanya sih gloves kami ini bisa touch screen, tapi kenyataannya, tetep susah juga pegang hp. Ini salah satu alasan, kami gak balesin chat. Kalo ada apa-apa langsung videocall, atau free call via Line dan Whatsapp. Syal juga perlu banget. Dicuaca dingin, syal jadi kayak pelindung ke tubuh biar angin dingin gak masuk. Yaiyalah yah. Pokoknya kudu bawa.
7. Payung. Yak, yang bawa cuma Ica. karena di ramalan cuaca, kota yang kami datangi gak ada hujan. Dan kalo pun hujan kami berencana beli di jepang aja. Tapi sungguh, ini perlu banget. Gak ada yang pasti. Bahkan ramalan cuaca Jepang yang kabarnya super akurat aja bisa salah.
8. Topi dan earmuff. Untuk yang pake jilbab sebenernya ini gak terlalu perlu banget. Aku bawa topi juga sih. Tapi Jilbab udah sangat cukup untuk melindungi dari dingin.

Total, aku membawa 1 long john, 2 legging thermal, 3 celana jegging, 5 sweater, 2 kemeja flanel, 1 coat winter, 1 coat autumn, 2 syal, 1 topi, 2 pasang kaos kaki, 1 pasang sepatu, 1 pasang sendal hangat, 7 jilbab.

Perlengkapan udah siap. Kita juga harus urus-urus berkas sebelum berangkat. Seperti yang kita ketahui bersama, masuk ke Jepang itu free visa, ASALKAN pakai e-passport. Aku belum punya passport sebelumnya, aku berniat bikin si e-passport, sayangnya e-passport tidak bisa dibikin di Palembang. Jadi aku bikin passport biasa dan harus bikin visa. Kebetulan bulan Desember aku ada keperluan di Jakarta, aku jadi bisa sekalian mengurus berkas visa ke kedutaan besar Jepang di dekat Grand Indonesia. Mengurusnya luar biasa gampang. Masukin berkas, dan tinggal tunggu beberapa hari kemudian. Bayar, lalu ambil visa. Sayangnya, pengurusan visa ke kedutaan tidak bisa diwakilkan; kecuali dengan syarat tertentu. Ica dan Tata jadi harus mengurus visa di travel agent yang ada di palembang. Pembayaran visa di kedutaan sekitar 330k saja, sementara di travel agent, Tata dan Ica kena 420k. (kalau gak salah)

Visa beres, passport beres. Berikutnya kami memesan penginapan dan kartu pass. Sebenarnya saat mengurus visa, kita  telah menyertakan penginapan yang kita tuju. Tapi setelah dipikir ulang, kami memangkas pengeluaran penginapan dan mengganti dengan penginapan lebih murah dan tiket bus. Kami memesan penginapan di booking.com dan airbnb. Lalu kami juga memesan bis malam antar kota. Tenang saja, bis malam di Jepang sangat nyaman. Kalian bisa tidur dengan nyenyak di bis semalaman. Kartu pass yang kami pilih adalah, takayama hokuriku pass. Kami udah memikirkan ini berulang kali. Dibanding JR pass atau kartu Pass yang lain, kartu hokuriku ini yang paling sesuai dengan budget kami dan paling efisien dnegan itinerary kami. Semua pemesanan yang harus bayar segera, kami pesen via online dengan credit card. Setelah luntang lantung nyari pinjeman credit card, akhirnya sesosok mas-mas datang. Kansahamnida, om sugeng.

Kemudian tukar uang. Kami sudah mencari beberapa tempat penukaran uang yang lumayan. Dibilang lumayan karena punya harga jual yang tidak terlalu tinggi. Dari beberapa tempat penukaran uang di Palembang, ada dua tempat yang aku rekomendasiin.
1. Bank Mandiri. Money changer bank Mandiri, ada di Bank Mandiri yang di sebelah bank Muamalat dan Bank Mandiri cabang cinde. Harganya lumayan banget. Tapi Bank Mandiri cuma punya pecahan 10k yen. Jadi kalau mau tuker dengan pecahan yen yang lebih kecil, tidak bisa disini.Alternatifnya, bisa tukar dengan USD.  Untuk USD juga hanya tersedia pecahan 100USD. Daripada harus bawa Rupiah, menukarkan uang ke USD jauh lebih baik.
2.Remaja  Money changer, terletak di jl. Jend.sudirman, deretan RM. Pagi sore. Kurs jualnya lebih rendah dari Bank Mandiri, sayang uang yen-nya habis. Money changer ini punya pecahan yang lebih kecil. Waktu kami kesana, hanya tersisa 1000yen. Ia juga punya USD dengan pecahan yang lebih kecil; 20k dan 50k. Lumayan buat nuker sisa rupiah ke USD.
Ini total uang yang aku bawa. Cuma empat lembar doang.

Bawa uang fisik ada untung ruginya. Untungnya, jadi gak ribet dan bisa langsung keluarin duit kalo lagi perlu, ruginya, kalo terlalu banyak malah susah kontrol diri. Bawaannya pengen belanja mulu. Atau itu cuma aku?
Jangan bingung, kalau ragu mau bawa uang banyak ke Jepang. Cukup bawa kartu ATM aja. Hampir di setiap sevel dan lawson ada ATM internasional. Bahkan kartu ATM-ku, BRI simpedes, yang bukan mastercard dan visa aja bisa narik di ATM sana. Masalah kurs dan biaya administrasinya aku gak terlalu ngitung, tapi lumayan kalau keadaan mendesak dan keabisan yen disana.

Saat berangkat, aku membawa 3 buah tas. 1 koper ukuran 20", 1 ransel, dan 1 tas kecil. Untuk budget traveler, (gak bisa bilang kita "pure backpacker"-an juga, karena gak kuat gendong ransel, jadinya bawa koper) gak usah terlalu bawa banyak barang. Aku juga bawa tas lipat cadangan, jaga-jaga kalau tas gak muat karena khilaf belanja. Usahakan 1 koper cukup untuk semua peralatan sehari-hari. Mulai dari baju dan perlengkapan lainnya. Untuk penerbangan internasional, kita gak boleh bawa cairan lebih dari 100ml. Untuk ngakalinnya kita bawa keperluan seperlunya aja. Misalnya untuk peralatan make up, aku hanya bawa tea tree set aku aja. Itu pun aku pindahin daily solutionnya ke botol yang sangat kecil. Pelembab dan BB cream di masukin ke dalam case softlens yang udah kosong. Bawa case softlens, cairan softlens seperlunya, pensil alis, lipstick dan eyeliner. Parfum juga bawa versi mini aja. Untuk perlengkapan mandi juga gitu. Odol dan sikat gigi yang jenis traveling, yang ukuran mini gitu. Sabun cuci muka di pindahin ke wadah sabun hotel yang mini juga. Sabun badan dan sampo, berharap aja disediain di penginapan. LOL.  Ransel berguna untuk masukin syal, makanan, charger, kamera, buku, pena (kita akan diminta mengisi blanko imigrasi di pesawat, jadi bawa pena sendiri aja) dan botol air minum kosong. Ingat! gak boleh bawa air lebih dari 100ml. Jadi cukup bawa botol kosong aja. Di bandara kuala lumpur ada banyak tap water buat ngisi air minum. Pun di Jepang, di bandara dan stasiun ada tap waternya. Bahkan ada yang air panas. Jadi bisa bikin popmie. Tas kecil berguna untuk tempat passport, kartu pass,wifi router, handphone dan uang. Kalau tasnya kecil banget kayak punya aku, dia masih muat nyempil di ransel. Jadi saat ribet dan mesti keluar masuk ngeliatin passport dan kartu pass, kita pake tas kecilnya. Pas keadaan aman, damai, masukin lagi tasnya ke ransel biar gak terlalu banyak tas yang ditenteng.
 Ranselnya cuma isi setengah, buat masukin tas kecil.


Dan satu lagi yang gak kalah pentingnya adalah pocket wifi. Di Indonesia, ada banyak travel agent yang nyewain pocket wifi. Di bandara Haneda juga ada penyewaan pocket wifinya. Setelah browsing, kami menjatuhkan hati pada penyewaan modem, wi2fly. Modemnya dikirim sehari sebelum berangkat dan diambil sama kurir sehari setelah berangkat. Kita tinggal tunggu di rumah aja. Iya, segampang itu. Review modemnya, ntar yah, diposting selanjutnya. Di paket modemnya, kita dikasih pinjem wifi router, kabel dan travel adapter. Colokan listrik di Jepang beda dengan Indonesia, kita jadi kudu bawa travel adapter. Karena kita berempat dan masing masing bawa gadget, kita bawa roll kabel mini yang muat buat 4 colokan. Jadi travel adapternya bakal disambung sama roll kabel, dan kami bisa ngecas bersama-sama tanpa perlu ngantri.



Keliatannya ribet yah, tapi kita nyiapin ini dengan suka cita. Jadi semuanya menyenangkan.

Rabu, 29 Januari 2014

Note note note!

So here what we did on my note !

Sabtu, 30 November 2013

Sang Angsa dan Keluarga Rubah

Seekor Angsa penunggu kolam di tengah hutan terbangun tiba-tiba di suatu subuh. Di depannya tampak sekeluarga rubah yang menangis kacau. Salah seorang dari rubah itu terluka kakinya. Si rubah yang sakit meringis kesakitan. Rubah-rubah yang lain tak tahu harus berbuat apa. Angsa adalah satu-satunya tabib di hutan itu. Angsa ingat ada tanaman di sisi selatan hutan yang bisa menyembuhkan luka si rubah. Ia mohon diri pada keluarga rubah yang masih panik. Ia terbang rendah ke luar hutan, mengambil beberapa helai daun obat dan kembali ke tempat keluarga rubah. Ia memohon izin untuk membantu si rubah malang. Beberapa keluarga rubah masih sibuk menangis bersama si rubah yang terluka. Angsa menaruh tanaman obat itu di kaki si rubah.
Selama beberapa hari, Angsa merawat si rubah yang terluka. Hingga hari ke sepuluh, si rubah sudah dapat berjalan lagi seperti semula. Keluarga rubah benar-benar bahagia. Mereka pergi setelah mengucapkan terima kasih pada sang angsa.
Baru beberapa jam keluarga rubah itu berjalan, tiba-tiba segerombolan singa datang menerkam mereka. Keluarga rubah berlari menyelamatkan diri. Sialnya, yang tertangkap adalah rubah yang kakinya baru saja sembuh. bukan karena ia berlari paling akhir, tapi karena kebetulan salah seekor singa berhasil menangkapnya. Setelah satu rubah tertangkap, Singa berhenti mengejar yang lain. Keluarga rubah kembali berduka. Dalam duka yang dalam, mereka kembali ke tengah hutan.
Di tengah jalan, keluarga rubah bertemu dengan tuan kancil. Tuan kancil yang melihat muka murung mereka akhirnya bertanya, “wahai keluarga rubah, ada apakah gerangan? Kalian tampak begitu sedih?”
“Saudara kami baru saja diterkam singa, tuan kancil”, jawab salah seekor rubah.
“Sungguh malang sekali nasibnya, jika saja ia berlari lebih cepat mungkin ia masih berada di antara kalian sekarang”, kata Tuan kancil iba.
“Iya, mungkin karena beberapa hari yang lalu kakinya terluka”
“Benarkah? Pantas saja. Aku turut berduka atas kepergian keluarga kalian”
“Tapi tuan, kakinya sudah sembuh”
“Wah, siapa yang bilang? Ia tak benar-benar sembuh kurasa. Buktinya ia tertangkap singa”
“Angsa yang bilang, tuan. Rubah, saudara kami sudah bisa berjalan seperti semula saat itu”
“hahaha, dia akan berada disini sekarang kalo dia benar-benar sembuh”, tawa Tuan Kancil.
Keluarga rubah jadi berpikir lagi. Benar juga kata Tuan Kancil. Dengan penuh amarah keluarga rubah mendatangi Angsa.
“Angsa! Dasar kau pembunuh!”, teriak keluarga rubah.
“Ada apa ini?”, tanya sang Angsa yang tiba-tiba didatangi keluarga rubah.
“Kalau saja kau tak bilang kalau rubah saudara kami sudah sembuh, dia tak akan mati sekarang”
“Apa? Dia mati. Tapi, kenapa? Dia sudah benar-benar sembuh saat itu”
“Tidak, dia diterkam singa. Gara-gara kau, angsa sialan!”, amarah mereka masih meletup-letup.
“Tapi bukankah ia diterkam singa bukan karena ia sakit?”
“kalau saja saat itu ia masih dibiarkan beristirahat disini, tentu ia masih hidup.
“Kami tak mau tau, ini semua salah anda, Angsa”
Keluarga rubah makin terbakar emosinya. Angsa yang terpojok sudah tidak didengarkan lagi. Lalu mereka beramai-ramai menerkan sang Angsa. 


Rasanya ini adalah curhat yang tak tersampaikan. Rumor yang sedang ramai beredar ini, tentu tidak bisa disamakan seperti fabel di atas, tapi setidaknya bisa mewakili perasaan kita, sesama orang awam. jadi layakkah bila keluarga angsa marah? sang angsa yang dimintai tolong, yang menolong tanpa pamrih, justru dibunuh oleh keluarga rubah. bukankah salahnya ada pada singa yang memakan saudara rubah? atau ini sudah nasib rubah yang malang? mengapa angsa yang disalahkan? 
apa yang anda lakukan bila anda salah seekor dari keluarga rubah? Apa pula yang kalian lakukan bila anda salah seekor dari keluarga Angsa? 

Minggu, 29 September 2013

Jaga Malam Pertama sebagai koas PDL

Kata beberapa orang aku koas pembawa. Aku tidak terlalu percaya dengan mitos. Tapi, kalo memang benar, matilah aku.
Malam ini, malam pertama jaga malamku di stase pdl. Jaga malam dimulai jam 2 siang sampai jam 7 pagi keesokan harinya. Setelah perkenalan koas baru ke beberapa konsulen, kami diberi pengarahan lagi oleh kakak residen. Yah, seperti biasa, aku belum sempat makan siang saat itu. Pukul 3 siang, kami, koas yang jaga dipanggil ke bagian masing-masing.
Aku baru beberapa menit saja memasuki bangsal itu, saat beberapa koas berlari-lari panik. Sekilas kulirik kamar 4. Mereka, para sejawatku sibuk dengan seorang pasien. Yang tak lama kemudian, pasien yang berusaha diselamatkan itu menghembuskan nafas terakhirnya. Yah, di awal jam jagaku.
Kemudian sampai malam, aku dan rekan jagaku disibukkan dengan segala hal. Follow up, memperbaiki dan mengganti infus, memeriksa pasien baru dan melakukan ini itu. Setidaknya ada 5 pasien baru di jam jagaku. Lelah. Tapi, aku bukankah menyukai jaga malam? Menyukai berinteraksi dengan pasien? Yah, sampai ambang batas lelahku kulampaui malam itu.
3 orang pasien yang kami follow up per jam malam itu benar-benar gawat. Aku tak mau melewatkan hal-hal kecil yang bisa membahayakan mereka. Kakiku yang lemah ini, hampir tak sanggup berdiri lagi. Pasien pertama sesak dengan darah tinggi. Pasien kedua gelisah dengan demam. Pasien ketiga, pasien yang ku follow up setiap paginya, lemah dan terus menerus merasa kesakitan. Aku dan rekan jagaku berusaha sebisa dan semampu kami membuat mereka lebih baik. Kami bisa apa?
Pukul 2 pagi, aku tertidur di meja bangsal, hanya 10 menit saja, saat anak pasien kedua memanggilku. Aku sungguh tak tahu aku berbuat apa. Saat aku benar-benar sadar, aku sudah melihat beliau lemas. Tak ada lagi geleng-geleng kepala tanda gelisahnya yang dari tadi aku dan keluarganya perhatikan. Aku panik. Benar-benar panik. Kakak-kakak residen, aku dan rekan jagaku kalang kabut. Kondisi beliau memang tidak terlalu bagus. Dari hasil follow up-ku, kakak-kakak bilang tidak ada kemajuan yang berarti. Aku bisa apa? Saat itu aku mencaci diriku sendiri. Aku menghujat diriku sendiri. Aku yang bodoh, yang tak tau bisa berbuat apa-apa. Dalam pelarianku mencari ekg paper, aku menyesal. Kenapa aku tidak berjaga di sampingnya saja? Sampai aku sadar, memang tak banyak yang bisa kami lakukan. Aku merasa hina. Aku tak sanggup berkata bahkan melihat keluarga yang hangat itu. Aku menunduk saja saat kakak residen mengabarkan bahwa beliau telah tiada.
Masih dalam masa-masa mengutuki diri sendiri dan belasungkawa yang dalam aku terduduk di meja bangsal. Beberapa pasien meminta aku mengganti infus atau sekedar memeriksa keluarga mereka. Pukul 4 dini hari. Aku kembali mem-follow up ke dua pasienku. Kondisi pasien pertama stabil. Aku melangkah ke kamar pasienku yang ketiga. Beliau sangat ramah. 2 hari ini, saat aku mem-follow-up-nya beliau selalu bercerita banyak hal. Kemarin saat sakit itu sangat menyiksa, beliau menarik tanganku. Dengan suara yang lemah dan terbata kuartikan ucapan beliau "dak enak disini, aku nak balek bae. Lebih lemak disano". Aku bisa apa selain memberi semangat padanya. Kemarin dia memakai kacamatanya untuk membaca. Tentulah beliau ini orang yang cantik kalau saja kanker itu tidak hinggap padanya.
Beliau rewel sekali subuh itu. Kata suaminya, ia berulangkali mencoba mencabut infusnya. Beberapa kali pula aku memperbaiki infusnya.
"Stop baelah dokter. Sudah dak ado ngefeknyo infus obat-obatan ini", kata suami dan ayah beliau.
Mereka sudah berulang kali ingin membawa beliau pulang, menghabiskan sisa hidupnya bersama keluarga. Kami, para tenaga kesehatan ini masih ingin berusaha memberikan kesembuhan bagi beliau.
"Jangan pak, kito kan samo-samo berusaha untuk ibuk", kataku saat mereka menyetop infus untuk beliau.
Aku mengenggam tangan beliau yang ringkih. Ia menatapku mengisyaratkan sakit yang ia rasa.
"Ibuk nurut dulu yo, aku beneri dulu selang infusnyo, jangan di geraki dulu"
"Maaf..", suaranya lirih masih menatapku.
Aku mengenggam kedua tangannya akhirnya.
"Ibuk jangan nyerah yo", senyumku saat aku meninggalkan ruangannya.
Sekitar 30 menit setelat memfollow up beliau, ayah beliau memanggilku yg saat itu sedang membenahi status.
"Dok, anak aku la meninggal, jingoklah dulu"
Aku berlari. Dengan semua harapan yang aku bawa, aku berdoa kalau bapak ini bisa jadi salah. Aku meraba nadinya. Memasang stetoskopku dan berusaha mendengar detakan halus jantungnya. Belum ada. Ku pegang tangannya. Kubuka matanya. Kakak residen, sudah berada di sampingku ternyata, menyinari matanya dengan cahaya senter. Midriasis sudah. Aku menatap kakak residen sekilas. Aku tak mau dengar kelanjutannya.
Aku keluar saat mereka menangisi beliau. Mereka yang masih ragu akan berjuang bersama kami, atau merelakan sang ibuk dan membawanya ke rumah saja. Aku menyibukkan diri. Aku tak mau melihat mereka. Aku kehabisan kata-kata.
Beberapa saat kemudian, telpon berdering dan mengabarkan seorang pasien di bangsal yang berbeda meninggal dunia. Aku mati rasa.
Saat beberapa kakak residen obgyn yang juga merawatnya datang, si bapak dan si suami mendekatiku. Dengan uraian air mata, si bapak meminta maaf untuk almarhumah, pada semua tingkah rewelnya saat akan kuperiksa, pada sikap yang mungkin menyinggung perasaanku, dan di kalimat terakhirnya ia berusaha tersenyum. Dengan senyum tipis dan air mata itu ia mengucapkan terima kasih padaku. Mataku panas. Lalu di kegelapan subuh itu, aku menitikkan air mata untuk kedua pasienku.

Selasa, 10 September 2013

Terukir di Bintang


"Sayang, bintang itu seperti apa?",tanya Aster padaku.
"Entahlah, mungkin dia seperti asteroid atau bulan. Aku bukan ahli astronomi, sayang"
"Nanti aku datangi bintang, biar aku bisa kasih tau kamu yah", senyumnya manis. Manis sekali.
"Jangan! jangan pergi ke bintang sayang", kecupku.
"Biar saja sayang. Aku ingin kesana mengukir namamu"
Lalu hingga malam itu selesai, ku dekap ia yang manis di sisiku.
***
Masih belum berhenti isakku saat ia datang. Ia adalah orang yang paling kubenci. Sudah ribuan rencana licik kupersiapkan untuk membunuhnya.Ia menambah sesak di dadaku karena kehilangan Aster. Aku yakin dia pasti ada di balik kematian Aster.
"Sudahlah kau ratapi gadis itu!", katanya kasar.
"Berhentilah meratap, bodoh! Dia sudah di bintang!", ia tertawa mengejek.
Aku diam, mengutukinya dalam hati. Aster mungkin memang sudah di bintang, mengukir namaku seperti yang ia janjikan. Tapi aku tak akan bisa rela.
"Hei!", Lelaki itu menarikku kasar.
Aku meninjunya dengan segala kekuatanku.
"Kau ini wanita gila!", ia balik menamparku.
"Memang, salah sendiri menikahiku", kataku sambil mengambil pisau di dekatnya dan menusuknya tepat di jantung.
"Sampaikan salamku, saat sampai di bintang"


Sabtu, 07 September 2013

Balon di tangan Naya

Naya duduk di samping rumahnya. Sudah lewat tengah malam, tapi ia tak juga masuk ke rumah. Bahkan lampu di rumahnya pun tak juga dihidupkan. Naya juga tak bersuara, atau menangis, atau tertawa. Mungkin Naya sedang tak ingin diganggu. Padahal kemarin petang ia masih tertawa dengan sebuah balon di tangannya. Gadis kecil dengan badan kurus itu biasanya pergi mengaji sehabis Isya, tapi ba’da isya tadi, Naya juga tak datang.  
 “Pak Nasrul!”, teriak Udin kepada Nasrul yang sedang duduk menyesap kopi di pangkalan ojek.
“Ada apa, din? Ada apa?”, Nasrul terperanjat saat namanya dipanggil.
“Atik kemarin ke rumah bapak. Mungkin bertengkar sama istri bapak. Ah, pasti bertengkar yah”
“Kenapa kasih tau sekarang?”
“Kau tak pulang lagi, rul?”, tanya Azwan, sesama tukang ojek.
“Ah, sudah mau kucerai dia!”
“Nanti saja pak. Pulang saja sekarang. Ini tentang Naya”, potong Udin.
Nasrul berlari tergopoh. Rumahnya sudah ramai saat ia tiba. Lalu, ia jatuh terduduk di dekat Naya. Naya yang memegang balon dengan kepala mendongak ke atas dan leher nyaris putus


Selasa, 02 Juli 2013

Aku dan Darah


Aku dan darah seperti sahabat. Aku tentu saja tidak berdarah setiap hari, tapi aku menyentuh darah setiap hari. Yah, aku selalu bertemu darah. Hari ini juga begitu. Lihatlah perempuan disana itu. Ia berlumuran darah. Aku menyentuhnya. Aku jadi berlumuran darah. Darah yang segar. Baunya amis. Darah-darah itu lalu menggumpal, seperti ati ayam. Jika kuhancurkan gumpalan darah itu, aku akan lebih berlumuran lagi.

Ingat dengan laki-laki paruh baya yang kecelakaan petang tadi. Dia juga. Kakinya hancur. Kau pernah melihat makanan bebek yang dihancurkan? Dilumat sedemikian rupa? Yah, begitu bentuk kakinya. Darahnya bercampur dengan daging. Benyek.

Dan tak lupa wanita muda yang berdarah tadi siang. Darahnya banyak. Keluar dari vagina. Mukanya pucat. Gumpalan darah jatuh berceceran. Entah apa yang terjadi padanya. Seorang laki-laki muda di sebelahnya tak henti menangis. Ah, mungkin ia takut darah.

Dan beberapa menit yang lalu, terjadi kecelakaan di dekat sini. Seorang gadis kecil, hancur kepalanya. Sebelah matanya juga hancur. Rambutnya lengket bersatu dengan darah dan otak. Ya, otak. Lembek bercampur darah. Hidungnya juga meneteskan darah.

Laki-laki yang kuduga ayahnya juga tampak mengerikan. Perutnya pecah. Buyar. Itu, yang tampak seperti mie ayam itu, isi perutnya. Usus, dan organ dalam bermandikan darah. Berceceran. Tangannya juga tampak hancur. Yang putih mencuat dari lengannya itu tulang. Tentu tak putih seperti jas dokter-dokter itu. Lebih berwarna merah muda, tulang berlumuran darah.

Uuh, kau pasti tak ingin melihat wanita yang kuduga ibu dari gadis itu. Kepalanya terpuntir ke belakang. Sudah jelas tulang lehernya patah. Mukanya juga tak bisa dikenali. Yah, siapa yang bisa mengenali wajah penuh darah dan kulit yang mengelupas? Mereka, para dokter itu nyaris tak melakukan apa-apa pada mereka. Orang bodoh mana yang mau menyelamatkan mayat?

Aku hanya diam mengamati. Ruangan ini penuh darah. Bau anyir jadi satu. Darah mereka-mereka semua bersatu. Bergabung menyesakkan ruangan ini. Darah-darah itu juga tak jarang datang bersama air mata. Yang lebih banyak bukan air mata sang pemilik darah, melainkan mereka yang mengatasnamakan diri mereka 'keluarga pasien'.

Aku berdiam diri di pojok ruangan bergelimangan darah ini. Tiba-tiba pintu ugd kembali terbuka.
"Kecelakaan! Kecelakaan!", teriak seseorang panik. Beberapa tenaga medis berhamburan keluar.
"Brankar! Mana brankarnya?!", teriak salah satu dari mereka tak kalah panik.
Seseorang menarikku kasar.
"Iya, ini brankarnya, dok", katanya sambil mendorongku keluar.