Aku dan darah seperti sahabat. Aku tentu saja tidak berdarah setiap hari, tapi aku menyentuh darah setiap hari. Yah, aku selalu bertemu darah. Hari ini juga begitu. Lihatlah perempuan disana itu. Ia berlumuran darah. Aku menyentuhnya. Aku jadi berlumuran darah. Darah yang segar. Baunya amis. Darah-darah itu lalu menggumpal, seperti ati ayam. Jika kuhancurkan gumpalan darah itu, aku akan lebih berlumuran lagi.
Ingat dengan laki-laki paruh baya yang kecelakaan petang tadi. Dia juga. Kakinya hancur. Kau pernah melihat makanan bebek yang dihancurkan? Dilumat sedemikian rupa? Yah, begitu bentuk kakinya. Darahnya bercampur dengan daging. Benyek.
Dan tak lupa wanita muda yang berdarah tadi siang. Darahnya banyak. Keluar dari vagina. Mukanya pucat. Gumpalan darah jatuh berceceran. Entah apa yang terjadi padanya. Seorang laki-laki muda di sebelahnya tak henti menangis. Ah, mungkin ia takut darah.
Dan beberapa menit yang lalu, terjadi kecelakaan di dekat sini. Seorang gadis kecil, hancur kepalanya. Sebelah matanya juga hancur. Rambutnya lengket bersatu dengan darah dan otak. Ya, otak. Lembek bercampur darah. Hidungnya juga meneteskan darah.
Laki-laki yang kuduga ayahnya juga tampak mengerikan. Perutnya pecah. Buyar. Itu, yang tampak seperti mie ayam itu, isi perutnya. Usus, dan organ dalam bermandikan darah. Berceceran. Tangannya juga tampak hancur. Yang putih mencuat dari lengannya itu tulang. Tentu tak putih seperti jas dokter-dokter itu. Lebih berwarna merah muda, tulang berlumuran darah.
Uuh, kau pasti tak ingin melihat wanita yang kuduga ibu dari gadis itu. Kepalanya terpuntir ke belakang. Sudah jelas tulang lehernya patah. Mukanya juga tak bisa dikenali. Yah, siapa yang bisa mengenali wajah penuh darah dan kulit yang mengelupas? Mereka, para dokter itu nyaris tak melakukan apa-apa pada mereka. Orang bodoh mana yang mau menyelamatkan mayat?
Aku hanya diam mengamati. Ruangan ini penuh darah. Bau anyir jadi satu. Darah mereka-mereka semua bersatu. Bergabung menyesakkan ruangan ini. Darah-darah itu juga tak jarang datang bersama air mata. Yang lebih banyak bukan air mata sang pemilik darah, melainkan mereka yang mengatasnamakan diri mereka 'keluarga pasien'.
Aku berdiam diri di pojok ruangan bergelimangan darah ini. Tiba-tiba pintu ugd kembali terbuka.
"Kecelakaan! Kecelakaan!", teriak seseorang panik. Beberapa tenaga medis berhamburan keluar.
"Brankar! Mana brankarnya?!", teriak salah satu dari mereka tak kalah panik.
Seseorang menarikku kasar.
"Iya, ini brankarnya, dok", katanya sambil mendorongku keluar.