Feeds RSS
Feeds RSS

Sabtu, 30 November 2013

Sang Angsa dan Keluarga Rubah

Seekor Angsa penunggu kolam di tengah hutan terbangun tiba-tiba di suatu subuh. Di depannya tampak sekeluarga rubah yang menangis kacau. Salah seorang dari rubah itu terluka kakinya. Si rubah yang sakit meringis kesakitan. Rubah-rubah yang lain tak tahu harus berbuat apa. Angsa adalah satu-satunya tabib di hutan itu. Angsa ingat ada tanaman di sisi selatan hutan yang bisa menyembuhkan luka si rubah. Ia mohon diri pada keluarga rubah yang masih panik. Ia terbang rendah ke luar hutan, mengambil beberapa helai daun obat dan kembali ke tempat keluarga rubah. Ia memohon izin untuk membantu si rubah malang. Beberapa keluarga rubah masih sibuk menangis bersama si rubah yang terluka. Angsa menaruh tanaman obat itu di kaki si rubah.
Selama beberapa hari, Angsa merawat si rubah yang terluka. Hingga hari ke sepuluh, si rubah sudah dapat berjalan lagi seperti semula. Keluarga rubah benar-benar bahagia. Mereka pergi setelah mengucapkan terima kasih pada sang angsa.
Baru beberapa jam keluarga rubah itu berjalan, tiba-tiba segerombolan singa datang menerkam mereka. Keluarga rubah berlari menyelamatkan diri. Sialnya, yang tertangkap adalah rubah yang kakinya baru saja sembuh. bukan karena ia berlari paling akhir, tapi karena kebetulan salah seekor singa berhasil menangkapnya. Setelah satu rubah tertangkap, Singa berhenti mengejar yang lain. Keluarga rubah kembali berduka. Dalam duka yang dalam, mereka kembali ke tengah hutan.
Di tengah jalan, keluarga rubah bertemu dengan tuan kancil. Tuan kancil yang melihat muka murung mereka akhirnya bertanya, “wahai keluarga rubah, ada apakah gerangan? Kalian tampak begitu sedih?”
“Saudara kami baru saja diterkam singa, tuan kancil”, jawab salah seekor rubah.
“Sungguh malang sekali nasibnya, jika saja ia berlari lebih cepat mungkin ia masih berada di antara kalian sekarang”, kata Tuan kancil iba.
“Iya, mungkin karena beberapa hari yang lalu kakinya terluka”
“Benarkah? Pantas saja. Aku turut berduka atas kepergian keluarga kalian”
“Tapi tuan, kakinya sudah sembuh”
“Wah, siapa yang bilang? Ia tak benar-benar sembuh kurasa. Buktinya ia tertangkap singa”
“Angsa yang bilang, tuan. Rubah, saudara kami sudah bisa berjalan seperti semula saat itu”
“hahaha, dia akan berada disini sekarang kalo dia benar-benar sembuh”, tawa Tuan Kancil.
Keluarga rubah jadi berpikir lagi. Benar juga kata Tuan Kancil. Dengan penuh amarah keluarga rubah mendatangi Angsa.
“Angsa! Dasar kau pembunuh!”, teriak keluarga rubah.
“Ada apa ini?”, tanya sang Angsa yang tiba-tiba didatangi keluarga rubah.
“Kalau saja kau tak bilang kalau rubah saudara kami sudah sembuh, dia tak akan mati sekarang”
“Apa? Dia mati. Tapi, kenapa? Dia sudah benar-benar sembuh saat itu”
“Tidak, dia diterkam singa. Gara-gara kau, angsa sialan!”, amarah mereka masih meletup-letup.
“Tapi bukankah ia diterkam singa bukan karena ia sakit?”
“kalau saja saat itu ia masih dibiarkan beristirahat disini, tentu ia masih hidup.
“Kami tak mau tau, ini semua salah anda, Angsa”
Keluarga rubah makin terbakar emosinya. Angsa yang terpojok sudah tidak didengarkan lagi. Lalu mereka beramai-ramai menerkan sang Angsa. 


Rasanya ini adalah curhat yang tak tersampaikan. Rumor yang sedang ramai beredar ini, tentu tidak bisa disamakan seperti fabel di atas, tapi setidaknya bisa mewakili perasaan kita, sesama orang awam. jadi layakkah bila keluarga angsa marah? sang angsa yang dimintai tolong, yang menolong tanpa pamrih, justru dibunuh oleh keluarga rubah. bukankah salahnya ada pada singa yang memakan saudara rubah? atau ini sudah nasib rubah yang malang? mengapa angsa yang disalahkan? 
apa yang anda lakukan bila anda salah seekor dari keluarga rubah? Apa pula yang kalian lakukan bila anda salah seekor dari keluarga Angsa? 

Minggu, 29 September 2013

Jaga Malam Pertama sebagai koas PDL

Kata beberapa orang aku koas pembawa. Aku tidak terlalu percaya dengan mitos. Tapi, kalo memang benar, matilah aku.
Malam ini, malam pertama jaga malamku di stase pdl. Jaga malam dimulai jam 2 siang sampai jam 7 pagi keesokan harinya. Setelah perkenalan koas baru ke beberapa konsulen, kami diberi pengarahan lagi oleh kakak residen. Yah, seperti biasa, aku belum sempat makan siang saat itu. Pukul 3 siang, kami, koas yang jaga dipanggil ke bagian masing-masing.
Aku baru beberapa menit saja memasuki bangsal itu, saat beberapa koas berlari-lari panik. Sekilas kulirik kamar 4. Mereka, para sejawatku sibuk dengan seorang pasien. Yang tak lama kemudian, pasien yang berusaha diselamatkan itu menghembuskan nafas terakhirnya. Yah, di awal jam jagaku.
Kemudian sampai malam, aku dan rekan jagaku disibukkan dengan segala hal. Follow up, memperbaiki dan mengganti infus, memeriksa pasien baru dan melakukan ini itu. Setidaknya ada 5 pasien baru di jam jagaku. Lelah. Tapi, aku bukankah menyukai jaga malam? Menyukai berinteraksi dengan pasien? Yah, sampai ambang batas lelahku kulampaui malam itu.
3 orang pasien yang kami follow up per jam malam itu benar-benar gawat. Aku tak mau melewatkan hal-hal kecil yang bisa membahayakan mereka. Kakiku yang lemah ini, hampir tak sanggup berdiri lagi. Pasien pertama sesak dengan darah tinggi. Pasien kedua gelisah dengan demam. Pasien ketiga, pasien yang ku follow up setiap paginya, lemah dan terus menerus merasa kesakitan. Aku dan rekan jagaku berusaha sebisa dan semampu kami membuat mereka lebih baik. Kami bisa apa?
Pukul 2 pagi, aku tertidur di meja bangsal, hanya 10 menit saja, saat anak pasien kedua memanggilku. Aku sungguh tak tahu aku berbuat apa. Saat aku benar-benar sadar, aku sudah melihat beliau lemas. Tak ada lagi geleng-geleng kepala tanda gelisahnya yang dari tadi aku dan keluarganya perhatikan. Aku panik. Benar-benar panik. Kakak-kakak residen, aku dan rekan jagaku kalang kabut. Kondisi beliau memang tidak terlalu bagus. Dari hasil follow up-ku, kakak-kakak bilang tidak ada kemajuan yang berarti. Aku bisa apa? Saat itu aku mencaci diriku sendiri. Aku menghujat diriku sendiri. Aku yang bodoh, yang tak tau bisa berbuat apa-apa. Dalam pelarianku mencari ekg paper, aku menyesal. Kenapa aku tidak berjaga di sampingnya saja? Sampai aku sadar, memang tak banyak yang bisa kami lakukan. Aku merasa hina. Aku tak sanggup berkata bahkan melihat keluarga yang hangat itu. Aku menunduk saja saat kakak residen mengabarkan bahwa beliau telah tiada.
Masih dalam masa-masa mengutuki diri sendiri dan belasungkawa yang dalam aku terduduk di meja bangsal. Beberapa pasien meminta aku mengganti infus atau sekedar memeriksa keluarga mereka. Pukul 4 dini hari. Aku kembali mem-follow up ke dua pasienku. Kondisi pasien pertama stabil. Aku melangkah ke kamar pasienku yang ketiga. Beliau sangat ramah. 2 hari ini, saat aku mem-follow-up-nya beliau selalu bercerita banyak hal. Kemarin saat sakit itu sangat menyiksa, beliau menarik tanganku. Dengan suara yang lemah dan terbata kuartikan ucapan beliau "dak enak disini, aku nak balek bae. Lebih lemak disano". Aku bisa apa selain memberi semangat padanya. Kemarin dia memakai kacamatanya untuk membaca. Tentulah beliau ini orang yang cantik kalau saja kanker itu tidak hinggap padanya.
Beliau rewel sekali subuh itu. Kata suaminya, ia berulangkali mencoba mencabut infusnya. Beberapa kali pula aku memperbaiki infusnya.
"Stop baelah dokter. Sudah dak ado ngefeknyo infus obat-obatan ini", kata suami dan ayah beliau.
Mereka sudah berulang kali ingin membawa beliau pulang, menghabiskan sisa hidupnya bersama keluarga. Kami, para tenaga kesehatan ini masih ingin berusaha memberikan kesembuhan bagi beliau.
"Jangan pak, kito kan samo-samo berusaha untuk ibuk", kataku saat mereka menyetop infus untuk beliau.
Aku mengenggam tangan beliau yang ringkih. Ia menatapku mengisyaratkan sakit yang ia rasa.
"Ibuk nurut dulu yo, aku beneri dulu selang infusnyo, jangan di geraki dulu"
"Maaf..", suaranya lirih masih menatapku.
Aku mengenggam kedua tangannya akhirnya.
"Ibuk jangan nyerah yo", senyumku saat aku meninggalkan ruangannya.
Sekitar 30 menit setelat memfollow up beliau, ayah beliau memanggilku yg saat itu sedang membenahi status.
"Dok, anak aku la meninggal, jingoklah dulu"
Aku berlari. Dengan semua harapan yang aku bawa, aku berdoa kalau bapak ini bisa jadi salah. Aku meraba nadinya. Memasang stetoskopku dan berusaha mendengar detakan halus jantungnya. Belum ada. Ku pegang tangannya. Kubuka matanya. Kakak residen, sudah berada di sampingku ternyata, menyinari matanya dengan cahaya senter. Midriasis sudah. Aku menatap kakak residen sekilas. Aku tak mau dengar kelanjutannya.
Aku keluar saat mereka menangisi beliau. Mereka yang masih ragu akan berjuang bersama kami, atau merelakan sang ibuk dan membawanya ke rumah saja. Aku menyibukkan diri. Aku tak mau melihat mereka. Aku kehabisan kata-kata.
Beberapa saat kemudian, telpon berdering dan mengabarkan seorang pasien di bangsal yang berbeda meninggal dunia. Aku mati rasa.
Saat beberapa kakak residen obgyn yang juga merawatnya datang, si bapak dan si suami mendekatiku. Dengan uraian air mata, si bapak meminta maaf untuk almarhumah, pada semua tingkah rewelnya saat akan kuperiksa, pada sikap yang mungkin menyinggung perasaanku, dan di kalimat terakhirnya ia berusaha tersenyum. Dengan senyum tipis dan air mata itu ia mengucapkan terima kasih padaku. Mataku panas. Lalu di kegelapan subuh itu, aku menitikkan air mata untuk kedua pasienku.

Selasa, 10 September 2013

Terukir di Bintang


"Sayang, bintang itu seperti apa?",tanya Aster padaku.
"Entahlah, mungkin dia seperti asteroid atau bulan. Aku bukan ahli astronomi, sayang"
"Nanti aku datangi bintang, biar aku bisa kasih tau kamu yah", senyumnya manis. Manis sekali.
"Jangan! jangan pergi ke bintang sayang", kecupku.
"Biar saja sayang. Aku ingin kesana mengukir namamu"
Lalu hingga malam itu selesai, ku dekap ia yang manis di sisiku.
***
Masih belum berhenti isakku saat ia datang. Ia adalah orang yang paling kubenci. Sudah ribuan rencana licik kupersiapkan untuk membunuhnya.Ia menambah sesak di dadaku karena kehilangan Aster. Aku yakin dia pasti ada di balik kematian Aster.
"Sudahlah kau ratapi gadis itu!", katanya kasar.
"Berhentilah meratap, bodoh! Dia sudah di bintang!", ia tertawa mengejek.
Aku diam, mengutukinya dalam hati. Aster mungkin memang sudah di bintang, mengukir namaku seperti yang ia janjikan. Tapi aku tak akan bisa rela.
"Hei!", Lelaki itu menarikku kasar.
Aku meninjunya dengan segala kekuatanku.
"Kau ini wanita gila!", ia balik menamparku.
"Memang, salah sendiri menikahiku", kataku sambil mengambil pisau di dekatnya dan menusuknya tepat di jantung.
"Sampaikan salamku, saat sampai di bintang"


Sabtu, 07 September 2013

Balon di tangan Naya

Naya duduk di samping rumahnya. Sudah lewat tengah malam, tapi ia tak juga masuk ke rumah. Bahkan lampu di rumahnya pun tak juga dihidupkan. Naya juga tak bersuara, atau menangis, atau tertawa. Mungkin Naya sedang tak ingin diganggu. Padahal kemarin petang ia masih tertawa dengan sebuah balon di tangannya. Gadis kecil dengan badan kurus itu biasanya pergi mengaji sehabis Isya, tapi ba’da isya tadi, Naya juga tak datang.  
 “Pak Nasrul!”, teriak Udin kepada Nasrul yang sedang duduk menyesap kopi di pangkalan ojek.
“Ada apa, din? Ada apa?”, Nasrul terperanjat saat namanya dipanggil.
“Atik kemarin ke rumah bapak. Mungkin bertengkar sama istri bapak. Ah, pasti bertengkar yah”
“Kenapa kasih tau sekarang?”
“Kau tak pulang lagi, rul?”, tanya Azwan, sesama tukang ojek.
“Ah, sudah mau kucerai dia!”
“Nanti saja pak. Pulang saja sekarang. Ini tentang Naya”, potong Udin.
Nasrul berlari tergopoh. Rumahnya sudah ramai saat ia tiba. Lalu, ia jatuh terduduk di dekat Naya. Naya yang memegang balon dengan kepala mendongak ke atas dan leher nyaris putus


Selasa, 02 Juli 2013

Aku dan Darah


Aku dan darah seperti sahabat. Aku tentu saja tidak berdarah setiap hari, tapi aku menyentuh darah setiap hari. Yah, aku selalu bertemu darah. Hari ini juga begitu. Lihatlah perempuan disana itu. Ia berlumuran darah. Aku menyentuhnya. Aku jadi berlumuran darah. Darah yang segar. Baunya amis. Darah-darah itu lalu menggumpal, seperti ati ayam. Jika kuhancurkan gumpalan darah itu, aku akan lebih berlumuran lagi.

Ingat dengan laki-laki paruh baya yang kecelakaan petang tadi. Dia juga. Kakinya hancur. Kau pernah melihat makanan bebek yang dihancurkan? Dilumat sedemikian rupa? Yah, begitu bentuk kakinya. Darahnya bercampur dengan daging. Benyek.

Dan tak lupa wanita muda yang berdarah tadi siang. Darahnya banyak. Keluar dari vagina. Mukanya pucat. Gumpalan darah jatuh berceceran. Entah apa yang terjadi padanya. Seorang laki-laki muda di sebelahnya tak henti menangis. Ah, mungkin ia takut darah.

Dan beberapa menit yang lalu, terjadi kecelakaan di dekat sini. Seorang gadis kecil, hancur kepalanya. Sebelah matanya juga hancur. Rambutnya lengket bersatu dengan darah dan otak. Ya, otak. Lembek bercampur darah. Hidungnya juga meneteskan darah.

Laki-laki yang kuduga ayahnya juga tampak mengerikan. Perutnya pecah. Buyar. Itu, yang tampak seperti mie ayam itu, isi perutnya. Usus, dan organ dalam bermandikan darah. Berceceran. Tangannya juga tampak hancur. Yang putih mencuat dari lengannya itu tulang. Tentu tak putih seperti jas dokter-dokter itu. Lebih berwarna merah muda, tulang berlumuran darah.

Uuh, kau pasti tak ingin melihat wanita yang kuduga ibu dari gadis itu. Kepalanya terpuntir ke belakang. Sudah jelas tulang lehernya patah. Mukanya juga tak bisa dikenali. Yah, siapa yang bisa mengenali wajah penuh darah dan kulit yang mengelupas? Mereka, para dokter itu nyaris tak melakukan apa-apa pada mereka. Orang bodoh mana yang mau menyelamatkan mayat?

Aku hanya diam mengamati. Ruangan ini penuh darah. Bau anyir jadi satu. Darah mereka-mereka semua bersatu. Bergabung menyesakkan ruangan ini. Darah-darah itu juga tak jarang datang bersama air mata. Yang lebih banyak bukan air mata sang pemilik darah, melainkan mereka yang mengatasnamakan diri mereka 'keluarga pasien'.

Aku berdiam diri di pojok ruangan bergelimangan darah ini. Tiba-tiba pintu ugd kembali terbuka.
"Kecelakaan! Kecelakaan!", teriak seseorang panik. Beberapa tenaga medis berhamburan keluar.
"Brankar! Mana brankarnya?!", teriak salah satu dari mereka tak kalah panik.
Seseorang menarikku kasar.
"Iya, ini brankarnya, dok", katanya sambil mendorongku keluar.

Jumat, 31 Mei 2013

Perkenalkan dok

"Siapa namanya?", tanya Miya padaku.
"Yang mana?"
"Nyonya dengan baju hijau yang tidur di brankar nomor tiga itu", Miya menunjuk.
"Hmm.. Julia kalo gak salah"
"Keadaannya agak aneh yah?"
Aku mengangguk.
"Sekilas mukanya familiar yah, kamu tahu, don?", lanjut Miya lagi.
"Aku gak ingat"
Aku melanjutkan perkerjaanku, melengkapi semua status pasien malam ini.
"Bisa kau panggilkan suaminya, Don?", Miya memanggilku lagi. Ia masih sibuk dengan beberapa pasien di kamar 2. Aku melangkah keluar.
"Keluarga ibu julia!', teriakku di depan ruang bersalin.
Seorang laki-laki berlari tergesa-gesa menghampiriku.
"Anda keluarga ibu julia?",tanyaku memastikan. Ia mengangguk.
Aku mengantarnya ke dalam.
"Bapak, suami ibu julia?", tanya Miya pada laki-laki itu.
"iya, benar bu. Istri saya kenapa?", ia bertanya cemas.
"Saya dokter miya pak, tadi saya sudah periksa ibu julia. Ada sedikit perdarahan dari vaginanya, akan kami obervasi lebih lanjut. Maaf sebelumnya pak, apa sebelumnya ibu julia pernah operasi pengangkatan rahim? ibu julia tidak bisa ditanya dari tadi'
Bapak itu tertunduk. Aku menatapnya dalam-dalam. Ia tidak memberi tanggapan apapun. Seperti ibu julia, dia juga tak bersuara.
"Bapak, tolong bantu kami. Kami disini buat nolong istri bapak", Miya mulai kesal. Wajar saja. Pasien tak berhenti daritadi. Pasien yang tidak kooperatif seperti ini tentu bikin mood rusak.
Aku melihat keraguan di wajah bapak itu. Sepertinya ia menyembunyikan sesuatu.
"Bapak ikut saya", kuajak dia menemui istrinya.
"Saya dokter Doni. Saya dan dokter miya yang bertanggung jawab disini. Bapak lihat kondisi istri bapak. Ibu julia sama sekali tidak ingin kami periksa. Ibu julia juga tidak mau menjawab semua pertanyaan kami. Jadi, tolong bapak bantu kami. Tolong kerja sama bapak", jelasku padanya.
Ia melihat istrinya sesaat. Ibu julia menatapnya dengan mata berkaca-kaca lalu mengangguk lemah.
"Maaf dok. Perkenalkan, saya Sutiyono. Kami pasangan homoseks. Istri saya transgender".
Aku tercengang. Tiba-tiba suara terisak terdengar dari belakangku. Miya berdiri di depan pintu meneteskan air mata. Ia berbalik ke luar. Aku ingat sesuatu sekarang. Aku berlari mengejar Miya.
"Dia..diaa.. Jun, don", Miya terisak di pundakku.
"Aku tau", kataku menenangkannya.
"Dia.. julia itu jun, don. Dia mantanku."

Rabu, 01 Mei 2013

Apa Aku Gila?



A : Kujelaskan kondisiku, autoanamnesis saja, karena tak ada yang bisa menjelaskannya untuk alloanamnesis. Begini, aku sudah merasa gila sejak belakangan ini. Yah, discriminatif insightku masih baik. Aku sadar betul, bahwa ada yang tidak beres di otakku. Ini karena dopamin, kan? Pasti terjadi peningkatan dopamin di sistem mesolimbikku, karena sudah muncul gejala positif yang aku alami. Erotomania, itu waham, kan? yah, aku rasa aku mengidapnya. Dan waham curiga, dan waham cemburu, dan thought insertion. Aku merasa, pikiranku dirasuki. Olehmu, kurasa. Dengan halusinasi auditorik tentu saja. Aku mendengar suaramu. Juga halusinasi visual, aku seperti melihatmu dimana-mana. Pun ilusi. Oh, aku sudah benar-benar gila. 
Sekarang aku jelaskan gejala negatifnya. Akhir-akhir ini pun aku jadi malas makan, tidur tak nyenyak. Mereka bilang afekku juga menumpul. Aku masih mandi, yah aku harus siap kalau tiba-tiba kau datang menemuiku kan? Dopamin di mesokortikalku mungkin menurun. 
Jangan lewatkan masalah kognitifku. Aku jadi sering melamun, tentang kamu tentu. Nilaiku jadi menurun. Daya tangkapku juga berkurang. Matilah aku. 
Jadi, apa diagnosis untuk gejalaku ini? skizofrenia kan?
B : kurasa, kau cuma jatuh cinta.

Surat Cinta Koas Mata


“Selamat pagi pemilik sepasang bola mata yang indah”, kalimat yang selalu kukatakan saat bertemu denganmu.
Kau dan semua media refraksimu membiusku. Kelima lapisan korneamu tak cukup menyaingi tebalnya lapisan cintaku padamu, pun kesepuluh lapisan retinamu.Cintaku banyak padamu, lebih banyak walau kau gabung semua cairan aquos humor dan vitreus. 
Indahnya, saat kulihat kau berakomodasi. Cahayamu jatuh tepat di depan retinaku. Membuat visusku kembali 6/6. Sekalipun aku mengalami anomali refraksi, aku tak perlu lensa sferish atau lensa cylindris untuk melihat semua keindahanmu.
Apakah aku harus di fluoresent test, agar kau tau tak ada ulkus dalam cintaku? Atau aku perlu di tonometri, agar kau tau tekanan bolamataku, yang seakan keluar saat menatap matamu? Bahkan aku rela di mydriatil berulang kali, jika saja pupil yang lebar bisa melihatmu dengan lebih jelas.
Aku rela menjadi palpebra agar bisa melindungimu. Aku juga rela menjadi kelenjar lacrimalis agar bisa selalu membasahimu dengan air mata cintaku. Tak perlu kau funduskopi aku, karena cintaku bening padamu, sebening lensa di balik irismu. 
Salam penuh kasih
Koas Mata

Rabu, 03 April 2013

2 cinta 1 hati

"aku jadi gak tenang gini deh, nad. Aku gak mungkin mutusin Dion gitu aja"
"Loh? gak masalah dong, ca. Toh, kamu juga udah gak nyaman lagi sama dia"
"Tapi dia kan baik banget nad. Aku gak punya alasan buat mutusin dia."
"Ca, jujur deh. Kamu mau mutusin Dion karena kamu juga udah jatuh cinta sama cowok temen smsan kamu itu kan?"
Aku tersenyum. Nadia benar, aku sudah jatuh cinta sama gebetan baruku. Awalnya dia yang tanpa sengaja menghubungi ke handphoneku. Dan entah bagaimana, kami jadi berkenalan. Kami jadi sering berkomunikasi via sms. Aku tidak suka di telpon. Jadi kami selalu bertanya kabar dan mengobrol via sms. Kami sangat cocok. Dan kadang dia lebih peduli daripada Dion, pacarku yang super sibuk.
"Jadi kapan kamu mau ketemuan sama cowok gebetan kamu itu? Siapa namanya? Bara?"
"Iya bara, nad. Besok siang nad, tapi aku harus mutusin Dion dulu. Aku gak tenang kalo selingkuh gini"
"Raisya, raisya. Kalo gak bisa selingkuh, jangan selingkuh dong", Nadia tersenyum geli menggodaku.
.....
"Sayang, aku gak mau putus!", kata Dion menatap mataku.
Aku jadi serba salah.
"Oke, aku tahu aku sibuk banget akhir-akhir ini. Tapi aku akan berubah. Aku akan lebih care ke kamu. Aku akan hubungi kamu sesibuk apapun kamu. Please, sayang, jangan putusin aku", Dion mengenggam jemariku dan menatapku dalam-dalam.
"Tapi.."
"Tolong sayang. Aku mohon", tatapan Dion bersungguh-sungguh. Aku bisa apa. Jauh di dalam hatiku, aku masih sayang pada laki-laki di hadapanku ini.
"Iya sayang, maafin aku yah"
"Makasih sayang..", matanya berbinar. Aku tersenyum tipis.
.....
"Jadi kamu gak jadi putus sama Dion, ca?", tanya Nadia di telpon.
"Iya nad. Dion sayang banget sama aku. Aku yang jahat, selingkuhin dia."
"Jadi sekarang gimana? Cowok gebetan kamu itu gimana?", Nadia bertanya antusias.
"Gak tau juga deh nad. Aku gak mungkin punya dua cinta dalam satu hati. Aku harus milih"
"Pilihan kamu Dion?"
"Hmmm.. Aku rasa.."
Tiba-tiba bel rumah berbunyi. Aku tersentak kaget.
"Bentar ya nad, aku buka pintu dulu. Ntar aku telpon lagi"
Aku berlari ke ruang tamu. Siapa yang bertamu malam-malam begini.
"Raisya sayaaang", teriak kak Raka di depan pintu. Kak Raka adalah kakakku satu-satunya yang sedang kuliah di luar kota.
"Kok pulang?", tanyaku kaget.
"Gak seneng liat kakak pulang?", senyumnya sumringah sambil memelukku.
"Kakak lagi libur? Tumben bisa pulang?", tanyaku masih penasaran.
"Ada deh", senyumnya misterius. Ia merebahkan badannya di sofa ruang tamu, sambil mengambil handphone-nya. Aku duduk bersandar padanya.
"ciee, yang punya Hp baru gak bilang-bilang"
"Hahahah, hasil kerja keras nih handphonenya", katanya masih sibuk memainkan handphonenya. Tiba-tiba handphoneku bergetar.
'jadi kan besok ketemunya?', sms dari Bara.
Kak Raka dan aku saling pandang. Tidak mungkin! aku jatuh cinta pada kakakku sendiri!

Rabu, 27 Maret 2013

Pelangi

Di atas bukit itu, kita bisa melihat pelangi dengan jelas. Aku dan murid-muridku sering kesana sehabis hujan. Pelangi seakan memberikan warna padaku, pun pada kedua belas muridku. Mereka, murid-muridku adalah anak-anak berkebutuhan khusus yang dititipkan orang tuanya. Adalah seorang gadis kecil yang baru masuk kemarin. Kedua orang tuanya adalah orang yang berada. Aku tak habis pikir,mengapa mereka menitipkan anaknya pada kami di gubuk kecil yang kami sebut rumah ceria. Gadis kecil itu bernama Nara. Umurnya sekitar 8 tahun. Matanya indah. Aku sudah jatuh cinta padanya dan matanya sejak kemarin ia dibawa, walaupun ia tak bisa melihat.
"Hujan badai seperti ini, apa mungkin masih ada pelangi?", tanya Riko yang tiba-tiba muncul di sampingku.
"Bukit itu, bukit pelangi, om. Hujan yang bagaimana pun, tetap ada pelangi disitu", jawab Tasya yang sedari tadi duduk menatap hujan. Aku tersenyum.
"Habis hujan, kita mau kesana kan bu?", tanya Mira yang susah payah menyingkirkan buku-buku di lantai agar ia dan kursi rodanya bisa mendekat padaku.
"Pasti. Kalian sudah merindukan pelangi kan?", aku balik bertanya.
"Pelangi itu apa?", suara Nara.
Aku terdiam. Nara kecil pastilah tidak tahu apa itu pelangi.
"Nah, ayo kalian semua kasih tahu Nara apa itu pelangi"
"Pelangi itu jembatan bidadali", teriak Marko masih sibuk dengan kereta mainannya.
"Pelangi itu kayak lolipop", balas Dila.
"Pelangi.. itu.. cat air.. yang.. tumpah.. dari .. langit", Darla menerjemahkan bahasa isyarat Momo.
"Pelangi itu baguus banget. Susah deh ngejelasinnya",jelas Vania.
Aku melihat seberkas senyum pada bibir manis Nara. Entah bagaimana aku harus menjelaskan pelangi padanya.
"Pokoknya kalo gak liat langsung, gak bakal tahu indahnya pelangi", sambung Dimas.
Nara menduduk. Aku jadi serba salah.
Hujan berhenti tak lama kemudian. Aku membawa murid-muridku ke puncak bukit. Mereka bermain-main di rumput yang lembab sisa hujan. Mira lebih memilih melukis di atas kursi rodanya.
"Kata mama, aku yang bunuh kakak. Jadi, mama sama papa buang aku kesini", Nara tiba-tiba duduk dan bercerita padaku.
"Sayang, kamu gak dibuang kok. Mama sama papa nitipin kamu disini, biar kamu banyak temennya"
"Kakak sama aku kecelakaan. Kakak yang meninggal, akunya gak papa. Semua jadi heran. Padahal kan kakak lebih pinter, lebih cantik", si kecil Nara terus bercerita seperti tak mendengarkanku.
"Aku pasti dibuang karena aku yang bikin kakak pergi. Aku mau naek pelangi. Kakak aku kayak bidadari cantiknya. Mungkin dia ada disana yah bu?"
Aku mendekap kepalanya, mengecupnya lembut. Aku kehabisan kata-kata.
"Kata papa kalo aja aku gak buta, aku bisa jadi pengganti kakak. Tapi kakak gak mungkin aku gantiin, kan bu? Kan kakak cantik. Kan mama lebih sayang sama kakak"
Aku menitikkan air mata. Gadis kecil ini pasti sudah melewati hari-hari yang berat.
"Bu, benar yah pelangi itu jembatan bidadari?"
"Mungkin benar sayang", senyumku.
"Kalau begitu naek pelanginya dari ujungnya yang disana itu yah?", tunjuk Nara kemudian.
Aku tersentak. Oh, tuhan. Anak ini tidak buta.

Kamis, 21 Maret 2013

putih-putih di rumah sakit

Beberapa minggu belakang, aku sibuk berjibaku di rumah sakit. Belajar banyak banget. Mengenyangkan, eh maksudnya menyenangkan. Di rumah sakit ada banyak yang pake baju putih-putih. Baju warna-warni juga banyak. Akibatnya banyak yang sering salah panggil. Nih, buat yang gak tahu arti seragam putih-putih di rumah sakit. 
 
1. Koas/ Dokter Muda

Koas singkatan dari ko-asisten. Koas ini sarjana kedokteran yang lagi menempuh pendidikan profesi buat jadi dokter. Koas punya gelar dokter muda, tapi seringkali gak dianggap. Yah, namanya juga koas. Terima ajalah yah. Masih untung gak kehilangan eksistensi di rumah sakit. 
Seragam koas di RSMH, warnanya putih, dengan kancing yang rame di sebelah kanan. Kalau dilihat sekilas, para koas mirip koki. Seragam yang kami pake pun disebut baju koki. Yasudahlah yah. Kalau lagi jaga malam, seragam kami beda lagi. Kami memakai jas yang panjangnya kurang lebih selutut. Itu seragam yang sama yang kami pakai saat kami praktikum waktu masih jadi mahasiswa pre klinik. 
tuh, kayak jas yang aku pake. 


2. Dokter umum/ Dokter residen

Dokter umum adalah sarjana kedokteran yang telah menyelesaikan pendidikan profesi. Dokter umum dapat melanjutkan studi dengan mengambil spesialis. Dokter-dokter umum yang sedang dalam pendidikan spesialis ini disebut dokter residen. Dokter umum memakai jas putih dengan lengan pendek. Sekalipun si dokter pake jilbab, lengan jas nya tetap harus pendek. 

3. Dokter Spesialis/ Konsulen
sumber dari sini

Dokter Spesialis adalah dokter umum yang sudah menjadi spesialis di bidang tertentu. Di setiap departemen punya satu spesialistik, misalnya departemen bedah, maka dokternya adalah dokter spesialis bedah, tapi spesialistik ini dapat di upgrade lagi. Misalnya jadi dokter spesialis bedah plastik. dst

4. Suster/ Perawat
Suster atau perawat umunya memakai setelan putih, yang berarti perawat akan memakai atasan dan bawahan yang sama. Sarjana keperawatan yang sedang mengambil pendidikan punya seragam sendiri. Di RSMH, seragam sarjana keperawatan UNSRI berwarna biru.

5. Satpam

Selain Dokter dan paramedis adalagi yang memakai seragam putih-putih. Tidak lain dan tidak bukan, adalah pak satpam. Tugas beliau-beliau ini juga amat penting. Menjaga keamanan dan kenyamanan rumah sakit.

Sebenarnya ada banyak seragam yang digunakan di rumah sakit. Tapi berhubung koas baru, belum terlalu paham siapa-siapa di balik seragam itu. Koas saja masih ada 2 seragam lagi. Seragam pink untuk berada di ruang operasi dan seragam abu-abu untuk mereka yang lagi di stase bedah. Seragam perawat juga banyak. Selain biru juga ada yang hijau. Belum lagi seragam cleaning service, petugas parkir, pelayan pagi sore. Lumayan banyak kalau mau ngapalin seragam yah, mending ngapalin textbook yang gak abis-abis. 

Udah gitu aja, putih-putih yang lainnya gak usah diceritain yah. :]

Rabu, 20 Maret 2013

five thousand dress



ini nih, "five thousand dress"-nya 


 mommy's old bag

and my favorite heels



keep chic and adorable for a cheap things, doesnt it?  :p

Sabtu, 23 Februari 2013

Kenyataan di Pasar Malam

Malam itu akhirnya aku memutuskan bertemu dengan June. June adalah mantan sahabatku. Sudah berulangkali ia menguhubungiku. Dia bilang ada sesuatu yang ingin dia katakan. Dia harus bertemu denganku. Dia berjanji menemuiku di bawah bianglala di pasar malam. 
Dibanding seperti dongeng, tempat ini lebih seperti mimpi buruk bagiku. Aku jadi teringat pada pacarku, Romi. Tempat ini tempat kencan favorit kami. Pun hotel di depan pasar malam ini. Mengingat semua tentangnya membuatku kembali terluka.
Sudah sekitar 2 jam dari waktu yang kami janjikan, dia tak juga datang. Aku mulai bosan.
"Maza...", suara memanggilku.
Aku menoleh. Tentu saja itu dia, June.
"Jadi apa yang ingin kau katakan? Kau sudah membuatku menunggu sangat lama"
"Aku tak tahu harus mulai darimana..",suaranya agak tersendat.
"Apa?", aku bertanya tak sabar.
"Soal yang waktu itu..", dia berkata takut-takut.
Aku menunggu kata-katanya yang keluar tersendat-sendat. Suara bising pasar malam, membuatku tak mendengar suaranya jelas.
"Ayo kita ke tempat yang lebih tenang", ajakku. June mengikutiku.
Kami tiba di cafe kecil di sudut pasar malam. 
"Jadi ceritakan padaku. Aku tak ingin bertele-tele lagi"
"Maza, kau ingat saat kecelakaan waktu itu?"
Aku termenung, mengingat kejadian setahun yang lalu. Waktu itu, aku dan teman-temanku pergi berlibur ke puncak. Mobil yang kami tumpangi tiba-tiba ditabrak dari belakang dan mobil kami terjerumus masuk ke jurang. Saat itu dalam keadaan setengah sadar dan tubuh penuh luka, aku melihat June dan Romi, pacarku. Mereka tersudut di ujung jurang. Aku menarik June yang waktu itu berada tak jauh dari tanganku. Aku berharap June juga dapat menarik Romi, tapi June diam saja. Berulang kali aku dan Romi memohon agar dia menarik Romi, tapi ia tak bergerak. Dia tak mau bukan tak bisa. Akhirnya dengan tubuh penuh luka, aku merayap menggapai Romi. Herannya, saat aku berhasil menggapai Romi, June malah menarikku. Romi yang tak bisa bertahan terjatuh ke jurang yang lebih dalam. Aku tak sanggup lagi mengingat kejadian berikutnya.
"Aku tak mau dengar tentang itu lagi", aku berdiri dan beranjak pergi. Kekesalanku kembali memuncak padanya.
"Maza.. Tunggu..", June menarik tanganku. "kau harus tahu alasanku dulu"
"Apa? Alasan apa yang membuatmu tak ingin menyelamatkan nyawa temanmu sendiri?", aku berteriak padanya. June tertunduk. 
"Aku takut kau menyentuhnya"
"Kenapa? Sudah kuduga. Kau pasti naksir dia kan? Kau pasti iri sama kami?", Kuluapkan semua kekesalanku.
"Kita terluka parah saat itu. Kita berdarah"
Aku meronta melepaskan tanganku dari gengamannya.
"kau bisa tertular"
Aku terdiam.
"Apa maksudmu?"
"Dia mengidap HIV-AIDS"
Seketika aku terdiam. Aku pasti sudah tertular.

Sabtu, 09 Februari 2013

Kekasihku dulu

Kekasihku dulu adalah orang yang periang. Dia sering menceritakan cerita-cerita lucu padaku. Aku selalu tertawa dibuatnya. Pernah suatu hari, saat aku datang padanya dengan menangis karena kehilangan kartu ATM, dia hanya memelukku, dan membiarkanku tersedu sedan. Saat aku selesai menangis, dia tersenyum dan menceritakan hal lucu padaku. Aku jadi tak peduli lagi pada kartu ATM-ku. Tentu saja setelah itu dia membantuku mengurus kartu ATM-ku yang hilang. Pokoknya dia luar biasa. Aku sangat menyayanginya.
Kekasihku itu juga seorang pekerja keras. Beberapa hari sebelum hari ulang tahunku, temannya kecurian. Dia yang baik hati meminjamkan uangnya pada temannya. Saat sadar kalau dia belum membeli kado untuk ulang tahunku, dia bekerja sambilan di sebuah toko roti. Hanya untuk kadoku saja. Bagaimana aku bisa tak mencintainya?
Sayang, itu dulu. Kekasihku sudah pergi, sudah tiada. Aku benar-benar merindukannya. Seperti hari ini, aku terus menunggu di kedai kopi tempat kami terakhir bertemu. Aku berharap bisa memeluknya seperti dulu, mendengarkan semua leluconnya seperti dulu. Aku selalu menyimpan fotonya di dompetku. Aku ingin melihatnya di setiap hariku. Aku juga menempelkan fotonya di meja di sebelah tempat tidurku. Agar aku bisa melihatnya di bangun pagiku, dan di malam sebelum tidurku. Mengingat semua tentangnya membuatku menitikkan air mata. Ah, sayangku, kenapa kau begitu cepat meninggalkanku.
"Emil!",suara yang sama yang sering kudengar.
"Siapa kau?"
"Aku pacarmu, ayo kita pulang!"
"Pacarku sudah tiada"
"Berhentilah memperlakukanku seperti aku sudah mati", bentaknya kasar.

Selasa, 05 Februari 2013

yudisium, pelantikan, wisuda, apa bedanya?

Agak tergelitik ngebahas ini karena udah berulang kali ditanya sama orang-orang di sekitar aku. Berhubung sebentar lagi melepaskan status mahasiswa pre klinik, banyak orang-orang yang sering nanya. Jadi, kali ini aku coba jawab pertanyaan-pertanyaan yang paling sering ditanyain sama aku, sepengetahuan aku aja yah.

Q: Kuliah dimana?
A: FK, di Univ.X

Q: Kapan tamat?
A: Tamat kuliah bentar lagi, tamat koas mungkin 2 tahun lagi.

Q: Kapan jadi dokter?
A: Entar kalo udah tamat koas, udah lulus UKDI.

Q: Katanya mau wisuda, kapan?
A: Wisudanya bulan mei

Q: Loh, bukannya februari?
A: Yang februari itu yudisium sama pelantikan.

Q: Apa bedanya?
A: Yudisium pengumuman doang, pelantikan itu peresmian gelarnya dari fakultas.

Q: Jadi yudisium sama pelantikan bareng?
A: Enggak. Yudisium tanggal 7, pelantikan tanggal 13.

Q: Yudisium sama pelantikan udah pake toga?
A: kagak. Yudisium baju biasa kayaknya. Pelantikan pake kebaya buat yang cewek.

Q: Dari bulan februari sampe mei ngapain? nungguin wisuda?
A: Masuk stase koas

Q: Kok koas duluan? jadi masuk koas belum wisuda?
A: Yak, betul!

Q: Koasnya berapa lama?
A: kurang lebih 2 tahun.

Q: Koas itu apa?
A: grrrrr... *ngunyah daun pepaya*

Q: Kalo udah di wisuda gelarnya apa?
A: S.Ked

Q: Apa itu?
A: Sarjana Kedokteran

Q: Emang ada?
A: *kemudian nangis di pojokan*

Q: Jadi ntar pas wisuda gelarnya bukan dr?
A: Bukaaan! Itu entar, kalo udah selesai koas. *Garuk-garuk muka yang nanya*

Q: Oke, oke. Udah ada pendamping wisuda?
A: *end chat*

Senin, 04 Februari 2013

jangan lihat aku!

Kemarin sore, aku mengalami kecelakaan kecil. Kaki kananku ditabrak, diserempet, atau apapun namanya oleh mobil putih berkecepatan tinggi. Kalau saja aku gak noleh dan liat kaki aku yang berlumuran darah dengan jari-jari yang dislokasi, aku gak akan sadar dan tetap pergi ke gramed sama adek. Yang buat aku menangis sejadi-jadinya adalah bentuk kakiku yang hancur. Padahal sebentar lagi pelantikan, aku mau beli sepatu cantik. Dengan kaki begitu, mana mungkin bisa pakai sepatu. Aku yakin pasti salah-satu jarinya patah. Bibiku yang lihat pertama kali waktu aku nyampe rumah juga bilang gitu, bikin aku tambah panik. Ditambah ayuk yang gampang panik, teriak-teriak manggil bapak yang lagi maen sama regan di depan rumah. Dan dalam sekejap, rumah dipenuhi tetangga yang datang melihat kaki hancurku. Perih. Aku gak ingin dilihat dalam kondisi kacau begini. 
Itu pertama kalinya aku merasa sakit yang luar biasa. Aku menangis berteriak minta analgesik, minta dirontgen, minta dibius. Kacau. Aku gak pernah sekacau itu. Gak pernah juga nangis sekenceng itu. Habislah imageku di mata semua tetanggaku. AKu betul-betul tampak seperti makhluk lemah. Aku tidak suka. Beberapa tetangga manggil tukang urut. Sore itu, dalam hitungan menit saja sudah ad 2 tukang urut yang datang ke rumah. Tukang urut yang pertama datang, takut ada bagian yang patah, dan lagi darahnya masih mengalir. Akhirnya datang satu orang lagi. Rasanya luaaaar biasaa sakiiiit. Ayuk dan mama bergantian memelukku. Bapak dan beberapa tetangga memegangi kakiku yang meronta-ronta. 
Selesai perkara urut mengurut. Kakiku bengkak, biru dan gak cantik. Tara yang memang berjanji menginap malam itu datang. Masih banyak hal yang harus kami urus, untuk daftar pelantikan dan wisuda, jadi mau tak mau aku harus pergi. Aku gak suka merepotkan sebenarnya, tapi seharian ini aku terus-terusan merepotkan tara. Dan yang aling aku gak suka, tatapan orang-orang.
Pertama saat aku di Indralaya. Saat masuk perpustakaan untuk menyerahkan skripsi, aku berjalan dengan tertatih dan sedikit pincang menaiki tangga. Dua orang bapak-bapak berkomentar di belakangku. Melihatku kasihan dan bilang hati-hati padaku. Mereka bersimpati. Aku terima, tapi tak suka. Mereka seperti melihatku kasihan.
Lalu sepulangnya, aku diturunkan Tara di kost tara untuk beristirahat dulu. Tara memang malaikat. Aku tau tara sangat peduli, tapi aku tak mau merepotkan. Dan aku tak suka apa yang aku lakukan tadi. Kelihatan lemah. 
Saat makan siang tadi juga begitu. Baru beberapa langkah aku mask restoran, orang-orang langsung melihat aku. Melihat kakiku. Ada yang salah dengan orang pincang? Aku tak suka pandangan itu. Jangan kasihani aku! Aku jadi berpikir, jangan-jangan selama ini aku juga sering memperhatikan orang-orang dengan kekurangan fisik di dekatku. Aku jadi mengerti perasaan mereka. Maaf yah. Aku jadi banyak belajar. Terima kasih, ya Allah. :) 

Sabtu, 02 Februari 2013

Puisi-puisi masa muda

Lagi sibuk-sibuknya ngebongkar isi lappy kemarin malah nemu folder puisi-puisi jadul. Lucu, gak jelas maksudnya apa. Tersiratnya agak parah. Nih salah satunya yang paling panjang. Ini puisi atau cerpen? LOL!


Bunga
aku adalah bunga
baru saja kemarin aku mekar
aku hidup
menghirup udara yang segar
menikmati setiap inchi pemandangan di hadapanku
aku begitu bahagia
semua yang ada membuatku bahagia
juga sahabatku, si kupu-kupu
kemarin ia masih seekor ulat gendut dan bertotol
ia menghabiskan semua daunku
dia rakus sekali
tapi aku tahu dia butuh itu
aku rela memberinya seluruh daunku
kini  ia telah menjadi kupu-kupu yang cantik
aku juga cantik
karena aku adalah bunga

ini hari yang indah
aku bisa melihat seluruh taman dari sini
ini tempat yang paling tepat untuk menikmatinya
sahabatku kupu-kupu menghampiriku
menanyakan hariku
dan kubuka kelopakku
memberinya hadiah untuk semua perhatiannya
ia tersenyum dan perlahan menghirup nektarku
aku bahagia
saat berbagi dengannya aku bahagia
ia terbang lagi
kutatap sayapnya yang indah
dan kembali memandangi taman yang indah ini
kupu-kupu kembali lagi
membawakanku segudang cerita
mengabarkanku tentang kelahiran laba-laba di kamar 346
menyampaikan padaku tentang kecelakaan di jalan flamboyan
menceritakan kisah cinta Romi dan Julie di sekolah
memberitahukanku tentang penerimaan mahasiswa
semuanya
aku bahagia mendengar semuanya
aku bahagia
kupu-kupu pergi lagi
dan berjanji akan membawakanku cerita lagi
aku melambai padanya
aku tetap disini
di taman ini
karena aku adalah bunga

biar aku tak bisa terbang aku masih bisa bahagia
ada banyak hal yang masih bisa kulakukan
memandangi taman
berfotosintesis
dan...
apalagi?
mungkin aku lupa
tapi aku bahagia
seekor kumbang yang tampan terbang rendah
aku tersenyum
hanya tersenyum
ia menghampiriku
wajahnya tampan dan membuatku nyaman
ia memuji kecantikan setiap kelopakku
wajahku bersemu merah
perlahan kubuka kelopakku
tak salah jika kuberi ia sedikit maduku
ia tersenyum
manis, manis sekali
ku persilahkan ia menghisap nektarku
aku rela dan aku bahagia
aku merasa tenang
tapi perlahan aku merasa aneh
kumbang tak berhenti menghisap maduku
apa yang akan kuberikan pada kupu-kupu jika ia kembali nanti?
aku tak kuasa menolak kumbang
ia tak berhenti
perlahan kututup kelopakku
gerakanku lemah nektarku habis
ia menatapku marah
aku tak berdaya
tubuhku lemas
ia pergi meninggalkanku
aku ingin mengejarnya dan memberitahunya apa yang terjadi
tapi aku tak bisa
karena aku adalah bunga

aku tak lagi bisa menikmati pemandangan
pikiranku kalut
aku takut
takut jika nanti kupu-kupu datang dan tak ada yang bisa kuberikan untuknya
aku bingung
bingung bagaimana menjelaskan pada kumbang
aku rela maduku habis
tapi aku tak rela mereka pergi
aku cemas
semuanya begitu gelap
mengapa aku tak bisa terbang bebas
seperti kumbang dan kupu-kupu
aku juga ingin menyaksikan setiap kejadian
aku juga ingin bermain-main di udara
aku juga ingin merasakan manisnya maduku
aku juga ingin pergi dari sini
seperti kumbang dan kupu-kupu
tapi aku tak bisa dan tak akan pernah bisa
karena aku adalah bunga

masih dalam kegelisahanku
kupu-kupu datang menghampiriku
ia tersenyum padaku
aku terlalu lemah untuk membalas senyumnya
ia mulai bercerita padaku
untuk pertama kalinya aku tak ingin mendengarkan ceritanya
ia tetap saja bersemangat bercerita
aku tak ingin membuatnya kecewa
kudengarkan setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya
ia tampak bahagia
ia tampak begitu cantik
ia punya apa yang tak kupunya
ia punya sepasang sayap yang begitu indah
tapi aku tidak
ia menatapku
aku membuka kelopakku
yang kutahu tak ada lagi madu di dalamnya
ia menatapku kecewa
dan pergi meninggalkanku
aku tak bisa mengejarnya
aku tak bisa
aku tak bisa menjadi seperti dirinya
aku tak bisa
sekalipun air mataku terus menetes berharap ia mengerti
sekalipun aku menjerit ingin bebas
sekalipun aku menarik seluruh akarku untuk mengejarnya
aku tak bisa
aku tak bisa
karena aku adalah bunga

aku terima segala kekuranganku
aku mencoba tersenyum
mungkin untuk yang terakhir
dahanku tak mampu lagi menopangku
kelopakku berkerut
warnanya tak lagi cerah
aku layu
benar-benar layu
tanpa kutahu rasanya
aku telah hilang
hilang di tangan jahil yang mencabikku dengan kasar
menjawab segala asaku
kini aku bukan bunga
aku tak lagi cantik
aku tak lebih dari seonggok sampah
terkapar tak berdaya dan akan berakhir di tanah
masih samar ku buka sedikit mataku
kumbang dan kupu-kupu menari diatasku
tersenyum
tersenyum padaku
berusaha menyapaku
maaf
aku bukan bunga lagi

hello februari!

Hello, feb!
Hows ur day? is evrything ok? mine, not really good. :')

Boneka kucing bilang, "gak bagus banyak mengeluh. Gak bagus juga banyak menyesal. Lebih baik lihat ke depan, kalau di depan masih belum jelas, lihat ke sekeliling". Aku suka kata-katanya. 
Jadi di awal februari yang sibuk ini, aku sudah menyelesaikan sesuatu yang kusebut skripsweet. yang sebulan kemarin ku panggil skripshit, yang ku sapa skripsi di 2 bulan sebelumnya. Aku sudah bisa dengan bangga menyebut diriku mahasiswa dong yah? Bukan mahasiswa namanya kalau belum ngerasain bikin skripsi. Apalagi dengan perjuangan yang lumayan menguras tenaga, uang jajan, waktu kencan, pikiran dan mental.Untung semuanya berakhir. Penantian panjang banget kayaknya. Yahsudahlah perkara skripsi, perkara pelantikan dan toga, aku sudah muak bosan. 
Sudah beberapa malam ini gak bertemu boneka kucingku yang bijaksana, jadi malam ini aku mengobrol sedikit dengannya tentang februari. Percakapan singkat kami yang biasa sebelum tidur.
"Bagaimana januari ini kamu habiskan?", tanya si kucing yang bermalas-malasn di sebelahku.
"Luar biasa. Semuanya begitu berharga. Pelajaran-pelajaran yang tak terlupakan. Yah, aku juga sedikit lelah"
"Kapan terakhir kali kau tidur normal?"
"Normal menurutmu, normal menurutku atau normal menurut mereka?"
"Menurutku normal itu tidur 8 jam sehari, mungkin menurut mereka juga sama"
"Hmm, normal menurutku, 4 jam tidur pagi, 3 jam tidur siang"
"Katakan menurutku saja", kata boneka kucingku yang kesal aku permainkan. Jarang aku bisa mempermainkannya seperti ini.
"Kalau begitu sekitar 2 bulan yang lalu, sebelum mulai penelitian"
"Kau lelah?"
"Tidak, hanya punggung yang sakit karena tidur di sofa beberapa hari ini"
"Januarimu luar biasa, soal yang kemarin kau katakan di awal januari, aku ingin..."
"Bisakah kita bicarakan tentang februari sekarang?", aku malas berdebat tentang hal yang itu-itu saja.
"Baiklah, apa yang akan kau lakukan februari ini?"
"Yudisium, pelantikan, masuk stase..."
"Resolusimu?"
"Klise. Menjadi lebih baik dari sebelumnya"
"Mau saran?"
"Tidak sekarang. Tanya aku lagi"
"Apa yang ingin kau capai?"
"Klise. Semua yang belum aku capai"
"Termasuk yang itu? Soal melupakan orang yang tak ingin dilupakan yang telah melupakan tapi tak bisa lupa?"
"Mungkin. Semakin ingin dilupakan jadi semakin ingat"
"Benar. Sulit!"
"Hentikan bicara soal januari, ini tentanga februari. Dan berhenti membuatku jadi susah lupa"
"Mau saran sekarang?"
"Kalau ini tentang februariku, ya!"
"Oke. Kusarankan.. Kau gunakan kunci yang kemarin aku berikan"
Aku tersenyum. Selalu kalah dengan omong kosong dari boneka kucingku ini.
"Bagaimana jadinya februariku nanti?", aku berkata menerwang.
"Seperti yang kau pikirkan", bisiknya. 

Rabu, 30 Januari 2013

kusampaikan kabar dariku

Aku ingin mengabarkan tentang kehidupanku. Aku ingin menceritakan semua yang akhir-akhir sedang aku lakukan. Sudah lama aku menjadi nokturnal, kau tahu itu. Tapi sekarang aku adalah nokturnal yang insmonia. Kukatakan demikian karena aku terjaga pada malam hari dan tidak tidur pada siang hari. Tak usah tanyakan bentukku sekarang. Tentu saja berat badanku berkurang. Itu nilai positif kan? Dan aku melakukan ini bukan tanpa alasan. Aku terlalu sibuk, atau menyibukkan diri. Cara terbaik untuk lupa. Untungnya aku yang lemah ini masih sehat-sehat saja.
Dirunut dari 1 bulan belakang. Penuh beban fisik dan psikis. Sidang skripsi yang ditunda. Omongan miring orang-orang yang tidak tahu kenyataannya, dan orang-orang di sekitarku yang jatuh sakit. Mulai dari si kecil regan. Hari itu, regan tidak berhenti BAB, mencret bahasa awamnya, diare kalo kata orang medis. Diare bukan penyakit sepele untuk anak sekecil itu. Dari pagi sampai sore mama dan ayuk merawat regan. Hari itu saja, dia sudah dibawa 2 kali ke dokter. Malamnya, keadaan regan tidak membaik. Sekitar setengah 11 malam, aku, mama dan ayuk membawa keponakan kecilku itu ke rumah sakit. Regan harus dirawat. Kamar yang tersisa hanya kelas 3. Ayuk, sebagai orang tua, ingin memeberikan yang terbaik untuk si kecil regan. Akhirnya aku mencari rumah sakit lain. Beberapa rumah sakit yang aku hubungi juga tidak memiliki kamar untuk regan. Aku menelpon adikku dan kami berkeliling mencari rumah sakit untuk regan. Itu sekitar pukul 2 pagi. Kuberitahu, aku ini lemah pada hujan, dan malam itu hujan turun. Setelah mendapatkan rumah sakit, aku kembali ke rumah sakit awal, tempat regan yang masih di ugd. Aku dan mama menjaga dan menemani regan sampai pagi. Nokturnal sepertiku sudah biasa seperti ini. Paginya, adik  harus bolos karna kecapekan, dan aku kembali ke rumah untuk terus ke kampus dan rumah sakit mata untuk mengurus skripsiku.
Aku sudah terlanjur down dengan hasil yang didapatkan teman-teman luar biasaku. Karena beberapa kekurangan, kami tidak bisa menyelesaikan sentuhan terakhir skripsi kami dengan cantik. Dan terima kasih kepada para penggunjing. Anda berhasil membuat saya terpuruk. Dan kepada para penjilat dan orang yang suka membanding-bandingkan, terima kasih anda sudah membuat saya tenggelam sampai dasar. Satu-satunya motivasi menyelesaikan skripsi ini hanya keinginan tamat segera. 
Sebelumnya pada awal januari, ayukku hamil lagi. Kabar sukacita, kami semua bahagia. Si kecil regan yang belum mengerti apa-apa juga senang tampaknya. Ayuk dan regan ke sini dalam rangka ikut ujian sebenarnya, tapi kabar kehamilan ayuk ini membuat ayuk harus beristirahat dulu di rumah untuk sementara.
Sampai 2 malam yang lalu, ayuk ternyata mengidap blighted ovum. Suatu kelainan kehamilan dimana ovum tidak terbentuk sempurna, bahasa awamnya kehamilan kosong. Sehingga ayuk harus harus dikuretase. Malam itu, aku harus pulang. Jadilah aku pulang di tengah badai di tenagh malam. Aku tak pernah kehujanan sampai separah itu. 
Aku sedang sibuk-sibuknya menyelesaikan skripsiku pasca sidang. Regan kecil dilarang masuk ke rumah sakit, jadi mama harus menjaga regan di rumah dan tidak bisa menjaga ayuk. Bapak baru saja berangkat pulang ke Bengkulu. Beruntung punya keluarga yang peduli. Ditengah kesibukan masih disempatkan menjaga ayuk. Adik juga sangat membantu. Dan sahabat-sahabat terbaik yang bersedia membantu kapan saja. Aku beruntung memiliki kalian.
Setidaknya sudah 2 malam aku tidur di sofa rumah sakit ini. Menjaga ayuk sambil mengerjakan revisiku. Aku mau ayuk cepat sembuh. Skripsiku selesai di revisi dan aku cepat daftar yudisium dan wisuda. Januari yang pelik, kukabarkan padamu. 

Senin, 28 Januari 2013

curhat boneka kucing

"Kenapa kau akhir-akhir ini?", tanya boneka kucing kesayanganku.
"Aku baik-baik saja", jawabku yang masih sibuk dengan tugas kantorku.
"Jangan bilang ini masalah dia lagi! Aku tak kuasa, jika kau terus-terusan bersedih seperti ini"
"Sungguh, aku hanya kelelahan. Banyak yang harus kuurus akhir-akhir ini"
"Kamu butuh bantuanku?"
"Kamu sudah banyak membantu. Terimakasih sudah menjagaku saat aku terlelap"
"Apa lagi yang kamu butuhkan?"
"Aku tidak butuh apa-apa, sekarang"
"Kalau pertanyaannya ku ganti, Siapa yang kau butuhkan sekarang?"
Aku diam. Dia ini benar-benar cerewet. Dia selalu suka mendebatku dengan hal-hal remeh temeh macam ini.
"Aku tidak sedang butuh siapa-siapa"
"Kau yakin?", dia mendekat menggodaku.
"Ah, sudahlah. Semuanya sedang sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Dia juga tak pernah lagi mengharapkan aku. AKu bisa apa? Tak ada yang bisa aku perbuat selain berpegang pada diriku sendiri"
"Terbuka!", dia berteriak.
"Apa?", tanyaku penasaran.
"Kotak pandoramu. Katakan semuanya. AKu sedang menjadi telinga"
Aku menghela nafas panjang. Aku kalah lagi.
"Dia, orang yang dari tadi kau ingin agar aku ucapkan, tidak kuharapkan lagi. Persetan dengan air, dan mimpi, dan harapan dan apapun yang aku bilang kemarin-kemarin"
"Kenapa?"
"Dia tak pernah ada. Lihat aku sekarang. Aku dalam masa-masa beratku, dia tak ada. Semalam aku kehujanan, harus menginap di UGD, atau menjaga orang sakit sampai pagi, dia tak ada. Aku belajar setengah mati untuk hari terpenting dalam proses belajarku, dia tak ada. Kenapa aku berharap pada orang yang tak pernah sama sekali peduli padaku lagi?"
"Kau memberi tahunya?"
"Apa?"
"Semua masalahmu, hari-hari burukmu, suasana hatimu"
"Tidak sama sekali"
"Apa yang bisa dilakukan seseorang yang tidak mengetahui masalah untuk menyelesaikan masalah?"
Aku diam. Aku salah lagi. Dia memang pintar bicara.
"Kau, apakah kau hadir dalam hari-hari terburuknya? membantu menyelesaikan masalahnya?"
"Tidak. Tidak lagi sekarang"
"Alasan yang sama, bukan?"
Aku termenung sejenak. Aku kalah pintar dari boneka kucing kudel ini. Aku tersenyum kecil, takut dia melihat senyumku.
"Aku sibuk, masih harus bekerja"
"jadi, apa arti semua ini?"
"Apa?"
"Apa yang akan kau lakukan? Apa yang dapat kau ambil? Masih kah kau..."
"Aku tahu!", kupotong kalimatnya. "Lihat saja nanti apa yang akan aku lakukan. Aku terlalu bodoh untuk bertahan di kondisi yang merugikanku, bukan?"
"Tidak. Kau hanya tidak memanfaatkan situasi dan kondisi yang ada dan hanya berharap pada..."
"Cukup!", aku memotong kata-katanya lagi.
"Berapa banyak orang yang tidak kau perhatikan akhir-akhir ini? Berapa banyak pesan yang keluar dari handphonemu? Berapa banyak chat ramah yang kau 'end chat'? Berapa banyak orang yang berhenti kau hiraukan?"
"Aku hanya sibuk", kataku lemas.
"Tidak, kamu hanya menutup hatimu untuk ruangan kosong yang ditinggalkan pemiliknya"
"kau benar", aku menitikkan air mata.
"Ini!", dia memperlihatkan telapak tangannya padaku.
"Apa?"
"Kunci"
"Untuk apa?"
"Untuk membuka hatimu"
Aku menggenggam tangan berbulu lembut itu.
"Terima kasih", bisikku.

Kamis, 24 Januari 2013

Skripsi

Debu di perpusatkaan tua ini menyesakkanku. Aku sudah berjam-jam duduk di tumpukan skripsi-skripsi lama ini. Beberapa skripsi sudah kusisihkan untuk kujadikan referensi menulis. Aku membuka skripsi terakhir yang belum kubaca di atas meja perpustakaan. Judulnya cukup menarik. Metode penelitian yang digunakannya juga sama seperti skripsiku yang masih belum rampung. Aku memutuskan untuk meminjam skripsi yang terakhir ini saja.
Setiba di rumah, aku langsung membaca lagi skripsi itu dengan seksama. Dari dalam kamar kudengar pintu rumahku dibuka. Itu pasti Kakek. Aku tinggal bersama kakek dan nenek dari sebelah ibu. Ayahku sudah meninggal, dan ibu masih dirawat karena gangguan kejiwaan yang dideritanya sejak aku lahir. Dari kecil, aku tak pernah melihat wajah ayahku. Namanya pun aku tak tahu. Kakek selalu manyuruhku menuliskan namanya pada kolom nama ayah, setiap kali aku harus mengisi form riwayat hidup. Aku menurut saja. Kakek dan nenek sangat membenci ayahku. Sampai aku sudah sebesar ini pun mereka tak pernah menceritakan apapun tentang ayah padaku. Dan tak mungkin aku bertanya pada ibu.
"Skripsimu sudah selesai?", tanya kakek saat aku keluar kamar.
"Sedikit lagi"
"Nanti mau jadi spesialis apa?"
"Belum kepikiran, kek"
"Jangan karena ibumu gila kamu ambil spesialis penyakit jiwa"
"Aku masih belum tahu, kek. Mau selesaiin skripsi dulu. Dokter umum aja masih jauh", aku kembali masuk ke kamarku. Sudah ke sekian kalinya, kakek memintaku untuk tidak mengambil bagian kesehatan jiwa. 
Aku kembali berkutat dengan skripsiku. Penulisan metode dan hasil penelitian di skripsi yang aku pinjam ini benar-benar bagus. Aku jadi sangat terbantu. Rasanya, setelah aku mengumpulkan semua sampel penelitian aku bisa menyelesaikan bab IV dan V dengan cepat kalau begini. Penyusun skripsi ini pastilah mahasiswa yang cerdas. Kubuka skripsi ini dari depan lagi. Kubaca namanya baik-baik. Dosen pembimbing yang membimbingnya pun aku kenal. Salah satu dosen senior di fakultasku. Kata-katanya pada lembar persembahan juga indah. Selain cerdas, ia juga orang yang puitis. 
"untuk yang kusayangi, Donita Resaya, terima kasih untuk setiap kata penyemangat yang kau lontarkan dari mulut indahmu"
Oh, tidak. Itu kan nama ibu. Mungkin dia mantan pacar ibu atau..
"dan tentu saja motivasi yang besar dari ksatria kecil kita di rahim nyamanmu yang sebentar lagi akan melihat dunia. Ramiro Mardav, nama yang kita sepakati untuk calon pemimpin masa depan kita nanti, terima kasih nak"
Namaku tertulis jelas di sana.



Inspirasiku


Aku adalah seorang penulis. Hampir semua karyaku kutulis di restoran ini. Entah sudah berapa kali aku nongkrong di restoran cepat saji ini. Semua inspirasiku seakan tumbuh subur saat aku berada disini. Sore ini hujan turun, aku kembali duduk bersama notebook-ku. Anehnya tak ada satu kisah pun yang terbayang dalam otakku. Sudah beberapa kali aku memesan segelas soda pada pelayan restoran. Perutku hampir kembung tapi tak satu kata pun yang kutulis.
Aku terus memandang jendela, berharap ada sesuatu yang bisa menjadi inspirasiku. Dari jendela kaca restoran ini, aku bisa melihat sesosok anak kecil yang berlari di tengah hujan. Aku jadi ingat sesuatu. Saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Waktu itu hujan, aku berteduh di sudut restoran cepat saji ini. Ada seorang anak laki-laki seumuranku, yang juga berteduh di sana. Selama kami menunggu ia tak henti-hentinya bersajak memuji hujan. Ia seperti berbicara pada langit. Ia seakan tak sadar bahwa aku sedang berdiri di sampingnya. Sajaknya begitu indah. Aku jadi terhanyut pada setiap kata-katanya. 
"Nah, hujan. Kita bertemu lain kali lagi", ia berkata menghadap langit saat hujan mulai reda.
Aku tersadar dari buaian kata-kata indahnya tentang hujan. Saat itu pula aku menyukai hujan dan dia. 
Ah, kenapa tak kutulis sesuatu tentang anak itu saja, pikirku. Aku mulai mengkhayal. kembali ke masa laluku. Mencoba mengingat-ingat kejadian waktu itu.
"Hujan..", seseorang dari sudut luar restoran berkata dengan lantang. Membuyarkan semua lamunanku.
"Kita berjumpa pada kali yang lain. Pada masa yang berbeda. Pada wajah yang berbeda. Pada suasana yang berbeda. Tapi pada rasa yang sama", laki-laki itu berkata menghadap langit.
Aku bergegas keluar. Aku mengenali laki-laki ini.
"Hujan yang berbeda, bukan hujan yang sama. Salah lagi", lanjutnya.
Aku berdiri di sampingnya. Mengamatinya dengan takjub. Kurasa ia tak menyadari kehadiranku.
"Kau kah itu?"
Aku kaget. Apakah ia benar-benar berbicara padaku tapi ia tak sedikit pun menoleh padaku. 
"Kau kah hujan?"
Untung tak kujawab. Tentu saja ia berkata pada hujan bukan padaku.
"Ah, tentu saja hujan yang sama. Aku tau bau hujanku. Taukah bahwa aku begitu merindukanmu, hujan?"
Aku diam dan terus mendengarkan sajaknya.
"Ah, benar. Aku seenaknya saja. Maafkan aku, hujan"
Entah mengapa aku merasa ia berkata padaku.
"Aku kehilangan arah. Sulit menemukan tempat ini. Aku seenaknya saja. Berbicara tentangmu, menyukaimu, menjadikanmu inspirasiku dan menamaimu hujan"
Aku terhenyak. Apakah ia baru saja berbicara padaku. Matanya masih menghadap ke langit.
"Maaf hujan. Aku sudah seenaknya. Hujan sudah reda. Biar waktu yang temukan aku dan hujan di lain kali"
Ia menarik tali di tangannya yang baru kusadari ada seekor anjing yang terikat di tali itu. Aku mulai sadar, laki-laki ini buta. 
"Hujan, aku akan coba mengingat restoran cepat saji ini, agar aku bisa bertemu hujan", ujarnya melangkah pergi.
"Ame!", teriakku.
"Ya? Kaukah yang berkata, hujan?"
"Namaku ame"
Ia tersenyum. Manis. 

Jumat, 18 Januari 2013

gadisku pergi

Aku duduk termenung di bangku taman di dekat rumahku. Tempat biasanya aku bertemu dengan gadisku. Kemarin ia pergi meninggalkanku. Aku tahu sejak awal hubungan kami ditentang orang tuanya. Aku tak peduli pada orang tuaku yang juga menentang, yang aku tahu, aku sudah terlanjur mencintainya. Percakapan perpisahan kami kemarin masih terekam jelas di kepalaku.
"Maaf, aku rasa aku mencintai orang lain", katanya sore kemarin dengan wajah tertunduk. 
Aku hanya terdiam lemah mendengar pengakuannya. Aku tahu cepat atau lambat kami akan berpisah. Dia sudah terlalu sering menentang ke dua orang tuanya hanya demi aku. Kalau saja alasannya bukan karena ia mencintai orang lain, aku akan membawanya pergi jauh-jauh. Berdua saja.
"Siapa?", tanyaku setelahh mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang tadi melemah.
"Laki-laki yang dijodohkan ayah sama ibu"
Aku bisa apa. Aku hanya memandangi punggungnya yang mulai menjauh dariku. Yang mungkin tak akan kulihat lagi.
Aku menatap pepohonan dari tempat aku duduk. Pepohonan yang sama seperti kemarin, tapi dengan suasana yang berbeda. Seorang laki-laki memasuki taman dan duduk di sampingku.
"Jadi, sekarang kamu mau nerima aku jadi pacar kamu?", tanya laki-laki itu padaku.
Ah, mungkin sudah saatnya aku kembali normal.


Minggu, 13 Januari 2013

Hujan

Kupandangi wajah pacarku yang sedang tertidur. Ia tampak sangat lelah. Mungkin sudah setengah jam ia tertidur. Hujan di luar membuat suasana yang pas untuk tidur. Pacarku orang yang hebat. Ia bilang tidak boleh menyetir saat ngantuk. Dan disanalah dia, tertidur di balik setir mobil.
Aku hanya bermain-main dengan pajangan kucing di dasboard mobilnya sambil mengawasi hujan yang masih turun lebat. Dari jauh, aku melihat seorang lelaki tua berjalan di tengah hujan. Ia basah kuyup. Aku benar-benar kasihan padanya. Aku mencari payung di jok belakang dan keluar mobil untuk memberikan salah satu payung kami padanya. 
Kudekati ia perlahan. Ia tersentak menyadari aku yang tiba-tiba berdiri di hadapannya.
"Kakek, butuh payung? Ini untuk kakek saja", aku memanyunginya sambi menyerahkan payung lipat padanya. 
"Kamu siapa?"
Aku sampai lupa memperkenalkan diri. Aku seperti orang asing yang datang tiba-tiba, tentu saja dia heran.
"Aku Mita, kek. Kebetulan lewat sini, dan aku bawa 2 payung. Ini untuk kakek saja"
"Terimakasih", ia mengambil payung di tanganku dan duduk di bangku tak jauh dari mobil pacarku.
Entah mengapa, aku jadi berjalan mengikutinya. Tubuh ringkihnya gemetar. Aku jadi kasihan. 
"Aku harus menunggu di sini. Istriku sebentar lagi pulang. Rumah kami jauh di belakang, sekarang mulai gelap, dia pasti susah melihat", laki-laki tua itu berkata sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Aku yang bodoh ini, tidak tahu kalau hujan akan turun. Istriku bisa sakit kalau ia kehujanan. Ia tidak boleh sakit"
"Aku bisa memberikanmu payungku ini, kek. Mobil merah itu punya pacarku. Aku bisa pulang tanpa kehujanan, jadi aku tidak membutuhkan payung ini"
"Tidak, aku sudah berhutang satu payung padamu. Satu sudah cukup"
Aku diam. Rasanya tak tega meninggalkan laki-laki tua ini mengigil kedinginan. 
"Itu istriku", laki-laki tua itu berdiri dari bangku dan berjalan menghampiri seorang wanita tua yang baru turun dari angkot. Ia memeluk istrinya erat. Aku terenyuh.
"terimakasih payungnya", Ia dan istrinya tersenyum padaku. Aku membalasnya dengan senyuman. Aku terus melihat mereka. Setelah mereka sampai di ujung jalan, aku baru sadar, laki-laki tua itu hanya memayungi istrinya dan ia tetap basah kuyup. 
Aku kembali ke mobil. Pacarku terbangun. Ia mengucek-ngucek matanya dan menatapku. 
"Kamu basah kuyup?",katanya setengah bertanya. Aku mengangguk saja.
"kamu gak boleh sakit", ia melepaskan jaketnya dan memakaikannya padaku. 
"Kamu seperti kakek", tawaku. Pacarku bingung. 

Sabtu, 12 Januari 2013

Hari itu, aku..

Hari itu, aku sangat kelelahan. Sehabis lembur di kantor, kubuka ponselku yang dari tadi siang tak kusentuh sama sekali. Beberapa sms, dan bbm di sana. Hanya broadcast dan bbm dari seorang teman yang menanyakan perihal reuni. Kubuka kotak masuk yang sudah kuduga darimu. Aku begitu lelah, bahkan untuk membalas semuamu.
Hari itu, aku belanja ke mall sendirian. Aku ingin mengganti sepatuku yang mulai mengelupas. Sudah beberapa toko, tapi tak kutemukan yang aku inginkan. Akhirnya aku hanya berkeliling. Aku tiba di sebuah toko souvenir. Sebuah asbak kecil memikatku. Aku ingat kamu. Aku membelinya tanpa pikir panjang, kebetulan ulang tahunmu sebentar lagi.
Hari itu, aku sedang membereskan kamarku. Tumpukan kertas dan majalah menggunung. Di sudut rak buku, aku menemukan kotak kado kecil. Kado yang tak pernah aku berikan tanpa alasan yang jelas. Aku tau apa isinya. Dan aku tau kado kecil ini untuk siapa. Kamu.
Hari itu, aku menemani temanku mencari kado untuk ayahnya. Kami berkeliling dan tak menemukan kado yang tepat. Akhirnya kami pulang dan beristirahat di kamarku. Ia menemukan kado kecilku, kado kecil untukmu yang tak pernah aku berikan. Ia menanyakan isinya dan memintaku untuk memberikannya padanya.  Aku mengiyakan saja.
Hari itu, hari ulang tahunku. Beberapa sahabatku memberikan kejutan untukku. Orang tua dan adikku juga. Membahagiakan. Tapi aku meras tak lengkap. Dengan semua kado dan ucapan ini, aku merasa kurang. Kurang ucapan dari mu. Ya. kamu.
Hari itu, aku berkeliling mall sendiri lagi. Yah, aku memang suka berkeliling sendiri. Aku ingat, sekitar setahun yang lalu aku masuk ke toko ini. Aku melihat jejeran souvenir di toko itu. Tanpa kusadari, aku mencari sesuatu. Asbak yang tahun lalu aku beli, sudah tak ada. 
Hari itu, aku benar-benar lelah. Aku menjatuhkan tubuhku di kasur dan terlelap. Dalam mimpiku, aku sedang mengetik laporan kerjaku. Ponselku berbunyi. Sms-sms darimu. Entah mengapa aku menjadi sangat gembira. Aku membalas smsmu. Sampai saat aku bangun, aku sibuk mencari ponselku yang masih kutaruh di tas. Tak ada pesan sama sekali.
Hari itu, aku menyadari. Setahun ini, aku bahkan tak melupakanmu. Aku selalu ingat. Aku sudah memutuskan. Aku mau belajar dan membangunnya kembali. Jadi, kukirim pesan singkat padamu dengan malu-malu. Berharap. 
Hari itu, aku lembur sampai tengah malam. Aku menyelesaikan tugas kantorku di rumah. Sesekali kulirik jam di dinding kamarku. Aku jadi ingat kamu. Kenyataan memang tak selalu bagus untuk diketahui semuanya. Mungkin kalau aku tak tahu kalau kau begitu. Aku akan terima-terima saja. Kukirimkan pesanku lagi padamu, masih berlinangan. 
Bagaimana mungkin kamu  bilang ini tiba-tiba?

Selasa, 08 Januari 2013

taylor lautner :)

Kemaren pas lagi demen2nya twilight, jadi ngefans sama abang yang satu ini.
Sekarang sih tetep setia dulu sama abang darren. Jadi, waktu les corel, bikinnya abng ini deh :)
Walaupun gak mirip-mirip banget, tapi waktu nyelesain gmbar ini, rasanya seneng banget :)

Dia

Aku mulai mencintainya sejak umurku 8 tahun. Dia tak seperti lawan jenisku yang lain. Dia adalah pangeran berkuda putih dan aku sebagai putrinya. Aku tahu ia juga menyukaiku. Dia sering memberiku hadiah dan begitu perhatian padaku.
"Sayang, kapan kamu mau pergi liburan?", tanyanya padaku.
"Segera setelah acara perpisahan di sekolah", jawabku pada pria idamanku itu.
"Semua sudah selesai kau urus kan sayang?"

"Semua"
"Baguslah, kamu memang gadisku yang mandiri"

Apa kubilang. Ia selalu perhatian padaku.
"Aku ingin ditemani liburan ini"
"Bukankah kau bersama teman-temanmu, sayang?"
"Iya, tapi rasanya masih ada yang kurang"
"kamu mau mengajak, Dio, pacarmu?"
Dia memang tidak peka, sejak dulu. 
"Dio bukan pacarku. Dia hanya teman."
"Oke, oke. Lalu siapa yang ingin kau ajak liburan, sayang?"
Dia sungguh tidak peka. Aku lelah membuatnya mengerti perasaanku. Aku bersender di bahunya. Begitu damai rasanya.
"Nandaaa....", suara ibu memanggilku.
"Sayang, ibumu memanggil"
"Aku masih ingin disini"
"Mungkin ibumu membutuhkanmu"
"Dia akan datang kemari, kalau ia butuh", sahutku masih menempel di bahunya.
Benar saja. Ibu segera menghampiri kami.
"Ada apa sayang?", kata Ayah tiriku itu pada ibu.

Minggu, 06 Januari 2013

perkara toga!

Aku sedang dirundung kemalasan akhir-akhir ini. Alasannya jelas karena skripsi yang sudah di deadline harus selesai BESOK. Perkara toga ini riweh saudara-saudara! Mesti kuliah dulu, nilai mesti bagus, bikin proposal, ngerjain penelitian, dan merangkumnya dalam sebuah tugas akhir yang disebut SKRIPSI. Kadang suka nanya sendiri, kenapa mesti sesulit itu, tapi kalo ngebayangin nanti terjun di masyarakat dan gak bisa apa-apa. Hmm.. kayaknya aku masih perlu belajar banyak. 

Dan gak asik rasanya ngerjain skripsi kalo gak sambil denger musik. nah lagu yang lagi seliweran di playlist ku beberapa hari ini adalah kumpulan lagu-lagunya bang epping, yah selain lagu galaunya secondhand serenade dan maroon 5.

Ini salah satu favoritku.

Bukan Toga

bukan maksud hatiku 
untuk menjadi seorang macan kampus yang tak kunjung lulus
bukan mksd hatiku 
untuk membuatmu malu dengan kondisi pendidikanku 
mohon trimalah aku 
apa adanya aku 
jangan tanyakan kuliahku
hanya rasa cintaku berikan 
untukmu sepanjang hidupku

semoga kau bisa mengerti 
arti rasa cinta yg tulus dari hatiku
bukan ijazah atau toga 
hanya hati yang kuandalkan untuk mencintamu

kumohonkan sabarmu untuk nantikan ku 
wisuda insya allah bulan tiga
dan tak usah kecewa 
bila ternyata nanti malah jadinya bulan sembilan
makanya trimalah aku 
apadanya aku
jangan tanyakan kuliahku
hanya rasa cinta yang kuberikan 
untukmu sepanjng hidupku


smoga kau bisa mengerti 
arti rasa cinta yg tulus dari hatiku
bukan ijazah atau toga 
hanya cinta yang kuandalkan untuk mencintamu


semoga kau bisa menngerti
bukan ijazah atau toga
bukan itu yang akan mncintaimu
smoga kau bisa mengerti rasa cinta dari hatiku

bukan ijazah atau bukan toga 
bukan itu untuk mencintai dirimu
semoga kau bisa mengerti
bukan ijazah atau toga, bukan itu bukan itu...


Ngena banget liriknya. Yah, buat para single sih maknanya biasa aja. eh, lupa. aku kan juga single :p
Nih, satu lagi yang masuk playlist wajib akhir-akhir ini.

SKed dulu

kutatap fotomu di balik sampul orji-ku 
betapa indah dunia kulihat lewat matamu
menatap wajahmu 
sudah menjadi hobiku
matamu melayangkan alam bawah sadarku
biar kunikmati rinduku biarku nikmati rinduku
biarkan aku terbang bersama mimpi

indah kurasa membayangkan kau menjadi milikku
walau ku harus Sked dulu
akan indah dunia bilaku bisa menjadi milikmu
walau untuk itu kuharus Sked dulu

Penasaran sama lagunya? Nih, download disini
Doakan bisa sidang minggu ini yah :D