Feeds RSS
Feeds RSS

Rabu, 27 Maret 2013

Pelangi

Di atas bukit itu, kita bisa melihat pelangi dengan jelas. Aku dan murid-muridku sering kesana sehabis hujan. Pelangi seakan memberikan warna padaku, pun pada kedua belas muridku. Mereka, murid-muridku adalah anak-anak berkebutuhan khusus yang dititipkan orang tuanya. Adalah seorang gadis kecil yang baru masuk kemarin. Kedua orang tuanya adalah orang yang berada. Aku tak habis pikir,mengapa mereka menitipkan anaknya pada kami di gubuk kecil yang kami sebut rumah ceria. Gadis kecil itu bernama Nara. Umurnya sekitar 8 tahun. Matanya indah. Aku sudah jatuh cinta padanya dan matanya sejak kemarin ia dibawa, walaupun ia tak bisa melihat.
"Hujan badai seperti ini, apa mungkin masih ada pelangi?", tanya Riko yang tiba-tiba muncul di sampingku.
"Bukit itu, bukit pelangi, om. Hujan yang bagaimana pun, tetap ada pelangi disitu", jawab Tasya yang sedari tadi duduk menatap hujan. Aku tersenyum.
"Habis hujan, kita mau kesana kan bu?", tanya Mira yang susah payah menyingkirkan buku-buku di lantai agar ia dan kursi rodanya bisa mendekat padaku.
"Pasti. Kalian sudah merindukan pelangi kan?", aku balik bertanya.
"Pelangi itu apa?", suara Nara.
Aku terdiam. Nara kecil pastilah tidak tahu apa itu pelangi.
"Nah, ayo kalian semua kasih tahu Nara apa itu pelangi"
"Pelangi itu jembatan bidadali", teriak Marko masih sibuk dengan kereta mainannya.
"Pelangi itu kayak lolipop", balas Dila.
"Pelangi.. itu.. cat air.. yang.. tumpah.. dari .. langit", Darla menerjemahkan bahasa isyarat Momo.
"Pelangi itu baguus banget. Susah deh ngejelasinnya",jelas Vania.
Aku melihat seberkas senyum pada bibir manis Nara. Entah bagaimana aku harus menjelaskan pelangi padanya.
"Pokoknya kalo gak liat langsung, gak bakal tahu indahnya pelangi", sambung Dimas.
Nara menduduk. Aku jadi serba salah.
Hujan berhenti tak lama kemudian. Aku membawa murid-muridku ke puncak bukit. Mereka bermain-main di rumput yang lembab sisa hujan. Mira lebih memilih melukis di atas kursi rodanya.
"Kata mama, aku yang bunuh kakak. Jadi, mama sama papa buang aku kesini", Nara tiba-tiba duduk dan bercerita padaku.
"Sayang, kamu gak dibuang kok. Mama sama papa nitipin kamu disini, biar kamu banyak temennya"
"Kakak sama aku kecelakaan. Kakak yang meninggal, akunya gak papa. Semua jadi heran. Padahal kan kakak lebih pinter, lebih cantik", si kecil Nara terus bercerita seperti tak mendengarkanku.
"Aku pasti dibuang karena aku yang bikin kakak pergi. Aku mau naek pelangi. Kakak aku kayak bidadari cantiknya. Mungkin dia ada disana yah bu?"
Aku mendekap kepalanya, mengecupnya lembut. Aku kehabisan kata-kata.
"Kata papa kalo aja aku gak buta, aku bisa jadi pengganti kakak. Tapi kakak gak mungkin aku gantiin, kan bu? Kan kakak cantik. Kan mama lebih sayang sama kakak"
Aku menitikkan air mata. Gadis kecil ini pasti sudah melewati hari-hari yang berat.
"Bu, benar yah pelangi itu jembatan bidadari?"
"Mungkin benar sayang", senyumku.
"Kalau begitu naek pelanginya dari ujungnya yang disana itu yah?", tunjuk Nara kemudian.
Aku tersentak. Oh, tuhan. Anak ini tidak buta.

0 komentar:

Posting Komentar