Kata beberapa orang aku koas pembawa. Aku tidak terlalu percaya dengan mitos. Tapi, kalo memang benar, matilah aku.
Malam ini, malam pertama jaga malamku di stase pdl. Jaga malam dimulai jam 2 siang sampai jam 7 pagi keesokan harinya. Setelah perkenalan koas baru ke beberapa konsulen, kami diberi pengarahan lagi oleh kakak residen. Yah, seperti biasa, aku belum sempat makan siang saat itu. Pukul 3 siang, kami, koas yang jaga dipanggil ke bagian masing-masing.
Aku baru beberapa menit saja memasuki bangsal itu, saat beberapa koas berlari-lari panik. Sekilas kulirik kamar 4. Mereka, para sejawatku sibuk dengan seorang pasien. Yang tak lama kemudian, pasien yang berusaha diselamatkan itu menghembuskan nafas terakhirnya. Yah, di awal jam jagaku.
Kemudian sampai malam, aku dan rekan jagaku disibukkan dengan segala hal. Follow up, memperbaiki dan mengganti infus, memeriksa pasien baru dan melakukan ini itu. Setidaknya ada 5 pasien baru di jam jagaku. Lelah. Tapi, aku bukankah menyukai jaga malam? Menyukai berinteraksi dengan pasien? Yah, sampai ambang batas lelahku kulampaui malam itu.
3 orang pasien yang kami follow up per jam malam itu benar-benar gawat. Aku tak mau melewatkan hal-hal kecil yang bisa membahayakan mereka. Kakiku yang lemah ini, hampir tak sanggup berdiri lagi. Pasien pertama sesak dengan darah tinggi. Pasien kedua gelisah dengan demam. Pasien ketiga, pasien yang ku follow up setiap paginya, lemah dan terus menerus merasa kesakitan. Aku dan rekan jagaku berusaha sebisa dan semampu kami membuat mereka lebih baik. Kami bisa apa?
Pukul 2 pagi, aku tertidur di meja bangsal, hanya 10 menit saja, saat anak pasien kedua memanggilku. Aku sungguh tak tahu aku berbuat apa. Saat aku benar-benar sadar, aku sudah melihat beliau lemas. Tak ada lagi geleng-geleng kepala tanda gelisahnya yang dari tadi aku dan keluarganya perhatikan. Aku panik. Benar-benar panik. Kakak-kakak residen, aku dan rekan jagaku kalang kabut. Kondisi beliau memang tidak terlalu bagus. Dari hasil follow up-ku, kakak-kakak bilang tidak ada kemajuan yang berarti. Aku bisa apa? Saat itu aku mencaci diriku sendiri. Aku menghujat diriku sendiri. Aku yang bodoh, yang tak tau bisa berbuat apa-apa. Dalam pelarianku mencari ekg paper, aku menyesal. Kenapa aku tidak berjaga di sampingnya saja? Sampai aku sadar, memang tak banyak yang bisa kami lakukan. Aku merasa hina. Aku tak sanggup berkata bahkan melihat keluarga yang hangat itu. Aku menunduk saja saat kakak residen mengabarkan bahwa beliau telah tiada.
Masih dalam masa-masa mengutuki diri sendiri dan belasungkawa yang dalam aku terduduk di meja bangsal. Beberapa pasien meminta aku mengganti infus atau sekedar memeriksa keluarga mereka. Pukul 4 dini hari. Aku kembali mem-follow up ke dua pasienku. Kondisi pasien pertama stabil. Aku melangkah ke kamar pasienku yang ketiga. Beliau sangat ramah. 2 hari ini, saat aku mem-follow-up-nya beliau selalu bercerita banyak hal. Kemarin saat sakit itu sangat menyiksa, beliau menarik tanganku. Dengan suara yang lemah dan terbata kuartikan ucapan beliau "dak enak disini, aku nak balek bae. Lebih lemak disano". Aku bisa apa selain memberi semangat padanya. Kemarin dia memakai kacamatanya untuk membaca. Tentulah beliau ini orang yang cantik kalau saja kanker itu tidak hinggap padanya.
Beliau rewel sekali subuh itu. Kata suaminya, ia berulangkali mencoba mencabut infusnya. Beberapa kali pula aku memperbaiki infusnya.
"Stop baelah dokter. Sudah dak ado ngefeknyo infus obat-obatan ini", kata suami dan ayah beliau.
Mereka sudah berulang kali ingin membawa beliau pulang, menghabiskan sisa hidupnya bersama keluarga. Kami, para tenaga kesehatan ini masih ingin berusaha memberikan kesembuhan bagi beliau.
"Jangan pak, kito kan samo-samo berusaha untuk ibuk", kataku saat mereka menyetop infus untuk beliau.
Aku mengenggam tangan beliau yang ringkih. Ia menatapku mengisyaratkan sakit yang ia rasa.
"Ibuk nurut dulu yo, aku beneri dulu selang infusnyo, jangan di geraki dulu"
"Maaf..", suaranya lirih masih menatapku.
Aku mengenggam kedua tangannya akhirnya.
"Ibuk jangan nyerah yo", senyumku saat aku meninggalkan ruangannya.
Sekitar 30 menit setelat memfollow up beliau, ayah beliau memanggilku yg saat itu sedang membenahi status.
"Dok, anak aku la meninggal, jingoklah dulu"
Aku berlari. Dengan semua harapan yang aku bawa, aku berdoa kalau bapak ini bisa jadi salah. Aku meraba nadinya. Memasang stetoskopku dan berusaha mendengar detakan halus jantungnya. Belum ada. Ku pegang tangannya. Kubuka matanya. Kakak residen, sudah berada di sampingku ternyata, menyinari matanya dengan cahaya senter. Midriasis sudah. Aku menatap kakak residen sekilas. Aku tak mau dengar kelanjutannya.
Aku keluar saat mereka menangisi beliau. Mereka yang masih ragu akan berjuang bersama kami, atau merelakan sang ibuk dan membawanya ke rumah saja. Aku menyibukkan diri. Aku tak mau melihat mereka. Aku kehabisan kata-kata.
Beberapa saat kemudian, telpon berdering dan mengabarkan seorang pasien di bangsal yang berbeda meninggal dunia. Aku mati rasa.
Saat beberapa kakak residen obgyn yang juga merawatnya datang, si bapak dan si suami mendekatiku. Dengan uraian air mata, si bapak meminta maaf untuk almarhumah, pada semua tingkah rewelnya saat akan kuperiksa, pada sikap yang mungkin menyinggung perasaanku, dan di kalimat terakhirnya ia berusaha tersenyum. Dengan senyum tipis dan air mata itu ia mengucapkan terima kasih padaku. Mataku panas. Lalu di kegelapan subuh itu, aku menitikkan air mata untuk kedua pasienku.
Minggu, 29 September 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Semangat calon dokter muda!!! kematian adalah takdir menolong adalah tugas kita :D salut dengan postingan yang satu ini
Posting Komentar