Aku mulai mencintainya sejak umurku 8 tahun. Dia tak seperti lawan jenisku yang lain. Dia adalah pangeran berkuda putih dan aku sebagai putrinya. Aku tahu ia juga menyukaiku. Dia sering memberiku hadiah dan begitu perhatian padaku.
"Sayang, kapan kamu mau pergi liburan?", tanyanya padaku.
"Segera setelah acara perpisahan di sekolah", jawabku pada pria idamanku itu.
"Semua sudah selesai kau urus kan sayang?"
"Semua"
"Baguslah, kamu memang gadisku yang mandiri"
Apa kubilang. Ia selalu perhatian padaku.
"Aku ingin ditemani liburan ini"
"Bukankah kau bersama teman-temanmu, sayang?"
"Iya, tapi rasanya masih ada yang kurang"
"kamu mau mengajak, Dio, pacarmu?"
Dia memang tidak peka, sejak dulu.
"Dio bukan pacarku. Dia hanya teman."
"Oke, oke. Lalu siapa yang ingin kau ajak liburan, sayang?"
Dia sungguh tidak peka. Aku lelah membuatnya mengerti perasaanku. Aku bersender di bahunya. Begitu damai rasanya.
"Nandaaa....", suara ibu memanggilku.
"Sayang, ibumu memanggil"
"Aku masih ingin disini"
"Mungkin ibumu membutuhkanmu"
"Dia akan datang kemari, kalau ia butuh", sahutku masih menempel di bahunya.
Benar saja. Ibu segera menghampiri kami.
"Ada apa sayang?", kata Ayah tiriku itu pada ibu.
0 komentar:
Posting Komentar