Feeds RSS
Feeds RSS

Kamis, 24 Januari 2013

Inspirasiku


Aku adalah seorang penulis. Hampir semua karyaku kutulis di restoran ini. Entah sudah berapa kali aku nongkrong di restoran cepat saji ini. Semua inspirasiku seakan tumbuh subur saat aku berada disini. Sore ini hujan turun, aku kembali duduk bersama notebook-ku. Anehnya tak ada satu kisah pun yang terbayang dalam otakku. Sudah beberapa kali aku memesan segelas soda pada pelayan restoran. Perutku hampir kembung tapi tak satu kata pun yang kutulis.
Aku terus memandang jendela, berharap ada sesuatu yang bisa menjadi inspirasiku. Dari jendela kaca restoran ini, aku bisa melihat sesosok anak kecil yang berlari di tengah hujan. Aku jadi ingat sesuatu. Saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Waktu itu hujan, aku berteduh di sudut restoran cepat saji ini. Ada seorang anak laki-laki seumuranku, yang juga berteduh di sana. Selama kami menunggu ia tak henti-hentinya bersajak memuji hujan. Ia seperti berbicara pada langit. Ia seakan tak sadar bahwa aku sedang berdiri di sampingnya. Sajaknya begitu indah. Aku jadi terhanyut pada setiap kata-katanya. 
"Nah, hujan. Kita bertemu lain kali lagi", ia berkata menghadap langit saat hujan mulai reda.
Aku tersadar dari buaian kata-kata indahnya tentang hujan. Saat itu pula aku menyukai hujan dan dia. 
Ah, kenapa tak kutulis sesuatu tentang anak itu saja, pikirku. Aku mulai mengkhayal. kembali ke masa laluku. Mencoba mengingat-ingat kejadian waktu itu.
"Hujan..", seseorang dari sudut luar restoran berkata dengan lantang. Membuyarkan semua lamunanku.
"Kita berjumpa pada kali yang lain. Pada masa yang berbeda. Pada wajah yang berbeda. Pada suasana yang berbeda. Tapi pada rasa yang sama", laki-laki itu berkata menghadap langit.
Aku bergegas keluar. Aku mengenali laki-laki ini.
"Hujan yang berbeda, bukan hujan yang sama. Salah lagi", lanjutnya.
Aku berdiri di sampingnya. Mengamatinya dengan takjub. Kurasa ia tak menyadari kehadiranku.
"Kau kah itu?"
Aku kaget. Apakah ia benar-benar berbicara padaku tapi ia tak sedikit pun menoleh padaku. 
"Kau kah hujan?"
Untung tak kujawab. Tentu saja ia berkata pada hujan bukan padaku.
"Ah, tentu saja hujan yang sama. Aku tau bau hujanku. Taukah bahwa aku begitu merindukanmu, hujan?"
Aku diam dan terus mendengarkan sajaknya.
"Ah, benar. Aku seenaknya saja. Maafkan aku, hujan"
Entah mengapa aku merasa ia berkata padaku.
"Aku kehilangan arah. Sulit menemukan tempat ini. Aku seenaknya saja. Berbicara tentangmu, menyukaimu, menjadikanmu inspirasiku dan menamaimu hujan"
Aku terhenyak. Apakah ia baru saja berbicara padaku. Matanya masih menghadap ke langit.
"Maaf hujan. Aku sudah seenaknya. Hujan sudah reda. Biar waktu yang temukan aku dan hujan di lain kali"
Ia menarik tali di tangannya yang baru kusadari ada seekor anjing yang terikat di tali itu. Aku mulai sadar, laki-laki ini buta. 
"Hujan, aku akan coba mengingat restoran cepat saji ini, agar aku bisa bertemu hujan", ujarnya melangkah pergi.
"Ame!", teriakku.
"Ya? Kaukah yang berkata, hujan?"
"Namaku ame"
Ia tersenyum. Manis. 

0 komentar:

Posting Komentar