Debu di perpusatkaan tua ini menyesakkanku. Aku sudah berjam-jam duduk di tumpukan skripsi-skripsi lama ini. Beberapa skripsi sudah kusisihkan untuk kujadikan referensi menulis. Aku membuka skripsi terakhir yang belum kubaca di atas meja perpustakaan. Judulnya cukup menarik. Metode penelitian yang digunakannya juga sama seperti skripsiku yang masih belum rampung. Aku memutuskan untuk meminjam skripsi yang terakhir ini saja.
Setiba di rumah, aku langsung membaca lagi skripsi itu dengan seksama. Dari dalam kamar kudengar pintu rumahku dibuka. Itu pasti Kakek. Aku tinggal bersama kakek dan nenek dari sebelah ibu. Ayahku sudah meninggal, dan ibu masih dirawat karena gangguan kejiwaan yang dideritanya sejak aku lahir. Dari kecil, aku tak pernah melihat wajah ayahku. Namanya pun aku tak tahu. Kakek selalu manyuruhku menuliskan namanya pada kolom nama ayah, setiap kali aku harus mengisi form riwayat hidup. Aku menurut saja. Kakek dan nenek sangat membenci ayahku. Sampai aku sudah sebesar ini pun mereka tak pernah menceritakan apapun tentang ayah padaku. Dan tak mungkin aku bertanya pada ibu.
"Skripsimu sudah selesai?", tanya kakek saat aku keluar kamar.
"Sedikit lagi"
"Nanti mau jadi spesialis apa?"
"Belum kepikiran, kek"
"Jangan karena ibumu gila kamu ambil spesialis penyakit jiwa"
"Aku masih belum tahu, kek. Mau selesaiin skripsi dulu. Dokter umum aja masih jauh", aku kembali masuk ke kamarku. Sudah ke sekian kalinya, kakek memintaku untuk tidak mengambil bagian kesehatan jiwa.
Aku kembali berkutat dengan skripsiku. Penulisan metode dan hasil penelitian di skripsi yang aku pinjam ini benar-benar bagus. Aku jadi sangat terbantu. Rasanya, setelah aku mengumpulkan semua sampel penelitian aku bisa menyelesaikan bab IV dan V dengan cepat kalau begini. Penyusun skripsi ini pastilah mahasiswa yang cerdas. Kubuka skripsi ini dari depan lagi. Kubaca namanya baik-baik. Dosen pembimbing yang membimbingnya pun aku kenal. Salah satu dosen senior di fakultasku. Kata-katanya pada lembar persembahan juga indah. Selain cerdas, ia juga orang yang puitis.
"untuk yang kusayangi, Donita Resaya, terima kasih untuk setiap kata penyemangat yang kau lontarkan dari mulut indahmu"
Oh, tidak. Itu kan nama ibu. Mungkin dia mantan pacar ibu atau..
"dan tentu saja motivasi yang besar dari ksatria kecil kita di rahim nyamanmu yang sebentar lagi akan melihat dunia. Ramiro Mardav, nama yang kita sepakati untuk calon pemimpin masa depan kita nanti, terima kasih nak"
Namaku tertulis jelas di sana.
0 komentar:
Posting Komentar